Bahan untuk membuat kuah santan adalah A. santan, susu kental manis, daun suji B. santan, daun suji, hunkwe C. Santan, daun pandan, dan garam D. Santa ⦠n, daun pandan, dan gula
Tetapi lebih lebih tepat kalau dikatakan tidak, sebab menjadi imam, biarawan dan biarawati adalah cara hidup khusus yang dikehendaki pertama-tama oleh Allah. Bahkan seorang imam bisa melakukan hal-hal yang mengagumkan semata-mata karena kuasa dari Allah. āBukan kamu yang memilih Aku, melainkan Aku yang memilih kamu ..ā (Yoh 15, 16).
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Agama keyakinan, keimanan boleh berbeda-beda. Namun, pada dasarnya semua agama mengajarkan kebajikan dan perdamaian. Hidup sederhana dan selalu berpikir mulia pun menjadi tujuan hidup manusia. Ikhtiar menjalankan kehidupan bermakna dan bermanfaat bagi agamanya juga keyakinan orang lain pun terus disebarluskan oleh para pemuka agamanya. Hingga akhir hayatnya pula ajaran kebajikan itu terus dipelajari, dihayati dan diperaktikan dalam kehidupan sehari-hari. Ibarat Muhammad SAW menjelang tutup usianya masih memberikan ajaran kebajikan dan melarang Haji Wada Khotbat Terakhir menutup risalah perjuangan sekaligus penegakan Keesaan Tuhan berakhir. Dalam kehidupan Sang Buddha, perilaku yang hampir sama juga terjadi. Khotbah Terakhir Hyang Buddha di Hutan Sala milik Suku Malla, di antara Pohon Sala besar di dekat Kusinara, terangkum dalam naskah Yunus H dengan memuat 16 pesan, diantaranya Jadilah perlindungan bagi dirimu sendiri. Janganlah menyandarkan nasibmu pada makhluk lain. Jadilah pelita bagi dirimu sendiri. Memegang teguh Dharma sebagai pelita dan perlindungan. Jangan mencari perlindungan lain. Pasal 1 Sang Buddha membabarkan Dharma 45 tahun lamanya. Selalu hadir pada setiap saat, tanpa mengenal letih dan lelah. Dengan pancaran penuh cinta kasih dan welas asih secara terus berjalan kali melalui tiupan angin dan debu ke seluruh pelosok negeri. Jelang Hari Raya Waisak 2553 BE/20009 yang jatuh pada tanggal 9 Mei 2009. Sejatinya, khotbah terakhir kita renungkan sekaligus sebarluaskan pesan suci ini. Semoga. [Ibn Ghifarie]IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama Lihat Filsafat SelengkapnyaMenjadiPengikut Kristus. 19 Mar, 2017 by Vik. Edward Oei. Baca: 1 Korintus 10: 23-33. ( Download Ringkasan) Hari ini kita melihat satu bagian Firman Tuhan ketika Rasul Paulus mengajarkan hidup secara praktis menjadi seorang Kristen. Ini merupakan bagian dari satu rangkaian yang Paulus berbicara tentang kehidupan sebagai umat Allah āGereja Kumpulan contoh soal pelajaran Pendidikan Agama Buddha kelas 7 SMP - Soal Pendidikan Agama Buddha Kelas 7 SMP ini terdiri dari 40 soal pilihan ganda, dan 40 soal soal Pendidikan Agama Buddha ini ditujukan bagi para pelajar atau perserta didik untuk membantu proses belajar atau mempersiapkan diri dalam menghadapi tes sekolah seperti ulangan, UTS, UAS, UKK, atau ujian sekolah lainnya. Kumpulan soal ini juga ditujukan bagi para guru atau pendidik dan mahasiswa sebagai sarana referensi atau sebagai contoh pembuatan soal dan digunakan sebaik mungkin untuk menunjang proses PILIHAN GANDA1. Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan- Nya dan bermeditasi Abhidhamma pada Minggu ke....a. satub. duac. tigad. empat2. Selama Minggu ketujuh, Buddha bermeditasi dibawah pohon Rajayatana. Pada hari yang ke 50 setelah puasa Buddha ada dua orang pedagang yang mempersembahkan makanan dari beras dan madu, orang tersebut adalah ...a. Sariputra dan Moggalanab. Tapussa dan Bhallikac. Sujata dan Anatapindikhad. Yasa dan Ayahnya3. Selama Minggu pertama, Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguanāgangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian. Keadaan ini adalah keadaan ...a. jhana b. abhinna c. surgad. nibbana4. Sebagai ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberiāNya tempat untuk berteduh sewaktu berjuang mencapai tingkat Buddha, yang dilakukan oleh Buddha pada Minggu kedua adalah ....a. bermeditasi di bawah pohon bermeditasi di hutan berdiri di dekat pohon Bodhi memandangi tanpa berkedip selama bersujud kepada pohon Bodhi sebagai ungkapan terima kasih selama Untuk menyakinan para dewaādewa di surga yang masih meragukan apakah benar Beliau telah mencapai penerangan Sempurna yang dilakukan oleh Buddha adalah ....a. menciptakan kamar batu permata yang tembus mengeluarkan sinar aura yang tidak bias dihalangi oleh berjalan mondar ā mandir di atas jembatan emas yang berjalan di atas Buddha awalnya tidak berniat mengajarkan ajaranNya karenaa. Ajaran Beliau bersifat ilmu batin Ajaran Beliau sudah umum diketahui orang Sudah banyak orang suci di India zaman Ajaran Beliau sangat sulit dipahami oleh orang yang batinnya Yang mengingatkan Buddha agar tetap mau mengajarkan ajarannya adalaha. Dewa Brahmab. Maha Brahmac. Brahma Viharad. Brahma Sahampati8. Setelah berjanji akan mengajarkan ajarannya Beliau pertama kali akan mengajarkan kepadaa. Udaka Ramaputrab. Udaka Kalamac. Alara Kalamad. Alara Ramaputra9. Khotbah kedua diberikan Buddha kepadaa. Lima pertapab. Yasac. Ayah Yasad. Tapussa dan Ballika10. Setelah kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbahNya, Buddha memberikan khotbahnya yang dikenal dengan .....a. Sigalovada Suttab. Manggala suttac. Anattalakhana Suttad. Dhammacakkappavatthana Sutta11. Salah satu kriteria agama Buddha di Indonesia adalah .....a. adanya arahatb. adanya hukum Kesunyataanc. adanya kebenarand. adanya Bodhisatva12. Atthi ajatam abhutam akatam asamkatam adalah bukti bahwa agama Buddha mengakui adanya ....a. Nibbanab. Boddhisatvac. Tuhan Yang Maha Esad. Hukun Karma13. Seorang Boddhisatta mempunyai kesadaran Buddha yang disebut juga .....a. Bodhisatvab. Bodhic. Bodhicittad. Arahat14. Hukum Kebenaran Mulia yang ketiga adalah ....a. Jalan menuju lenyapnya Dukkhab. Lenyapnya Dukkhac. Sebab Dukkhad. Dukkha15. Bagian dari hukum yang menjelaskan tentang adanya kondisi yang tidak kekal, tanpa aku dan tanpa inti disebuat ....a. Hukum karmab. Punarbhavac. Hukum Tilakhanad. Hukum empat Kebenaran Mulia16. Salah satu syarat umat Buddha menjadi samanera adalah . .a. tidak memerlukan izin dari orang tuab. tidak cacat mentalc. boleh tidak memiliki jubahd. boleh memiliki hutang17. Para anggota Bhikkhu sangha disebut juga.....a. Gharavasab. Samanera c. pabbajitad. samaneri18. Sedangkan kelompok umat Buddha perumah tangga disebut juga ...a. Gharavasa b. Samanera c. pabbajitad. samaneri19. Umat Buddha laki ā laki yang telah menyatakan dirinya berlindung pada Triratna disebut ....a. Upasaka b. Samanera c. pabbajitad. samaneri20. Sila yang harus dijalankan oleh seorang samanera berjumlah?a. 5 b. 8 c. 10d. 22721. Pancasila Buddhis adalah lima latihan moral yang dilaksanakan oleh....a. Bhikkhub. Samanerac. Samanerid. Upasaka -upasika22. Sila pertama Pancasila Buddhis merupakan kehendak atau tekad untuk menghindari . . . .a. mengonsumsi dagingb. mengambil barang milik orang lainc. menggosip dengan temand. penganiayaan makhluk hidup23. Meningkatnya pecandu narkoba dan obat terlarang merupakanbentuk pelanggaran terhadap sila ke . . . .a. 5 b. 4 c. 3d. 224. Pelanggaran sila pertama pancasila Buddhis dapat dicegah dengan mengembangkan ....a. Samma ajivab. Metta karunac. saccad. sati sampajanna25. Memiliki sikap selalu ingat dan waspada berarti telah memiliki sikap .....a. sati ā sampajana b. metta karuana c. saccad. samma ajiva26. Pancadhamma disebut sebagai sila yang ....a. Aktifb. Pasifc. Menengahd. kecil27. Metta ā karuna berkaitan dengan sila ke .... Pancasilaa. Satub. Duac. Tigad. empat28. Pencaharian benar disebut juga ....a. Metta- karunab. Santhutic. Samma ajivad. sacca29. Penahanan diriterhadap nafsu keinginan disebut juga ....a. Metta ā karunab. Santhutic. Saccad. kamasavara30. Benar dan perbuatan, ucapan dan pikiran disebut ....a. Metta ā karunab. Santhutic. Saccad. kamasavara31. Perubahan yang terjadi pada remaja yang paling menonjol dipengaruhi oleh ....a. orang tuab. keluargac. lingkungand. teman32. Agar terhindar dari pergaulan yang salah kita renungkan dan laksanakan sabda Buddha dalam Dhammapada gatha ...a. 328b. 329c. 330d. 33133. Pergaulan bebas dapat melanggar sila pancasila buddhis sila ke .....a. 5b. 4c. 3d. 134. Sutta yang membahas ttg kemerosotan atau keruntuhan spiritual adalah ....a. Karaniyametta Suttab. Parabhava Suttac. Sigalovada Suttad. Dhammacakhapavathana sutta35. Sahabat yang harus kita miliki adalah sahabat baik. Sahabat baik disebut juga ....a. Akalyanamittab. Kalyanamittac. Paramittad. Sad Paramitta36. Karena manusia mahkluk saling membutuhkan satu sama yang lainnya, maka manusia disebut sebagai makhluk ....a. Individub. mandiric. Sociald. berbudaya37. Pengertian pergaulan menurut Kamus bahasa Indonesia adalah ....a. Adanya hubungan antar manusiab. Pergaulan yang berpedoman pada agamac. Hal bergaul dalam hidup bermasyarakatd. Hubungan yang serasi antara teman38. Keadaan yang dimulai dengan adanya kehendak dari seseorang untuk berpantang disebut ....a. Adhita b. Nekhama c. Danad. sila39. Sutta yang berisi wejangan Buddha kepada Sigala terdapat dalam Sutta ....a. Karaniyametta Suttab. Nidhikhandhaka Suttac. Manggal Suttad. Sigalovada Sutta40. Ada empat dorongan yang membuat seseorang melakukan kejahatan antara lain...a. Kebodohanb. Kepandaianc. Kecemasand. KekwatiranKumpulan Contoh Soal Semua Pelajaran SMP/MTs BukaSOAL ESSAYJelaskan arti warna-warna sinar yang terpancar dari tubuh Buddha!Orang yang mempersembahkan bubur susu kepada Pangeran Siddharta sebelum Beliau mencapai Penerangan Sempurna adalahSetelah Bodhisattva Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Sempurna, Beliau menghabiskan waktu menikmati kebahagiaan selama . . . .Sepanjang minggu pertama, Buddha meresapi Kebahagiaan Kebebasan dengan sikap . . .Salah satu yang perlu dihancurkan dalam diri sendiri agar penderitaan dapat dilenyapkan adalahMengapa Buddha ragu-ragu untuk mengajarkan ajarannya?Apa manfaat bagi Tapussa dan Ballika kalau mereka mempersembahkan tepung dan madu kepada Buddha?Mengapa mula-mula lima pertapa teman bertapa Pangeran Sidharta tidak mau menyambut kedatangan Buddha di hutan Uruvela?Jelaskan yang dimaksud dengan lima tentang khotbah ketiga yang diberikan oleh 6 kriteria agama Buddha !Tuliskan unsurāunsur yang ada dalam Paticcasammupada !Apakah Boddhisatva itu ?Kelahiran mahkluk melalui kandungan disebut juga ?Tujuan akhir umat Buddha adalah?Jelaskan tujuan orang menganut suatu agama?Tuliskan syarat ā syarat menjadi samanera !Jelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan sebagai umat awam terhadap para pabbajita?Sila yang dijalankan oleh Bhikku Theravada ada ..... silaSila yang dijalankan oleh Bhikkuni mahayana ada ..... silaJelaskan manfaat umat Buddha melaksanakan sila kelima dalam kehidupan sehari-hari !Apakah yang termasuk dalam Pancadharma?Bagaimana hubungan Pancadharma dan Pancasila Buddhis?Yang merupakan sila yang bersifat aktif adalah?Menahan diri dari hawa nafsu disebut juga?Apakah yang dimaksud dengan pancadhamma ?Tuliskan yang termasuk pancadhamma !Sati sampajanna artinya?Puas dengan apa yang dimiliki disebut juga?Jelaskan hubungan pancasila dan pancadhamma !Hiri artinya?Ottappa artinya?Pergaulan bebas dalam agama Buddha disebut pelanggaran?Hal ā hal apakah yang menyebabkan kemerosotan?Mengapa remaja masa kini ada yang terjejak dalam pergaulan salah ?Apakah yang dimaksud dengan pergaulan Buddhis ?Tuliskan syarat ā syarat dari ucapan benar !Apakah permulaan dari batin yang luhur ?Buddha berkhotbah Sigalovada Sutta ketika berada di?Sebutkan makna enam arah yang dipuja oleh Sigalo!Contoh Soal Pelajaran PA Buddha Kelas 7 SMPSumber Buku PA Buddha Kelas 7 SMP
Apakahyang kamu ketahui tentang tsunami? Jelaskan. Apa yang dimaksud dengan fosil? Beni diberikan uang oleh orang tuanya satu hari Rp5.000,00. mintalah temanmu yang ketiga untuk membaca
Buku Masih dalam pengerjaan konversi Kumpulan monumental ini adalah pengantar definitif kepada ajaran Sang Buddha ā dari kata-kata beliau sendiri. Bhikkhu cendekiawan Amerika, Bhikkhu Bodhi, yang telah diakui terjemahannya yang sudah sangat banyak, sekarang mempersembahkan pilihan khotbah-khotbah Sang Buddha yang ambil dari Kanon Pali, catatan tertua dari apa yang diajarkan oleh Sang Buddha. Dibagi menjadi 10 bab tematik, Kumpulan Khotbah Sang Buddha mengungkap cakupan penuh dari khotbah Sang Buddha, dari kehidupan berkeluarga dan pernikahan sampai pelepasan dan jalan pencerahan. Kumpulan Khotbah Sang Buddha memungkinkan pembaca yang bahkan tidak mengenal Buddhisme untuk memahami pentingnya kontribusi Sang Buddha kepada warisan dunia kita. Secara keseluruhan, teks-teks ini berisi bukti nyata pada luas dan dalamnya ajaran Sang Buddha, dan menunjukkan pada jalan tua dan juga yang sangat penting. āAda dua cara untuk melihat pada karya literatur Buddhis. Pertama adalah melihatnya dari luar, sebagai objek yang berada dalam lingkungan historis dan kultural. Perspektif lainnya, yang lebih kedalam, adalah berhubungan dengan efek potensial transformatif pada pembacanya. Dari kedua perspektif ini, buku ini luar biasa⦠Pengantar Bhikkhu Bodhi pada setiap bab jika dikumpulkan bersama dapat menjadi sebuah rangkuman Dhamma yang indah dan mudah dimengerti.ā Buddhadharma The Practitionerās Quarterly Pengantar Lebih dari dua ribu lima ratus tahun telah berlalu sejak Guru kita yang baik, Buddha SÄkyamuni, mengajar di India. Beliau memberikan nasihat kepada semua yang mau mengindahkanNya, mengundang mereka untuk mendengar, merenungkan, dan memeriksa dengan kritis apa yang telah Beliau katakan. Beliau mengajar para individu dan kelompok berbeda selama masa lebih dari empat puluh tahun. Setelah Sang Buddha wafat, catatan atas apa yang Beliau katakan dilestarikan sebagai suatu tradisi lisan. Mereka yang mendengar ajaran-ajaranNya akan berkumpul secara periodik untuk mengulangi bersama apa yang telah mereka dengarkan dan mereka hafalkan. Dalam perjalanannya, pengulangan dari ingatan ini dituliskan, menjadi dasar bagi semua literatur Buddhis turunannya. Kanon PÄli adalah salah satu yang paling awal dari catatan tertulis dan satu-satunya versi awal yang lengkap yang berhasil bertahan secara utuh. Dalam Kanon PÄli, teks-teks yang dikenali NikÄya-nikÄya memiliki nilai khusus sebagai koleksi terpadu tunggal dari ajaran-ajaran Buddha dalam kata-kataNya sendiri. Ajaran-ajaran ini mencakup berbagai topik; topik-topik ini bukan hanya membahas pelepasan keduniawian dan kebebasan, tetapi juga membahas tentang hubungan selayaknya antara suami dan istri, pengaturan rumah tangga, dan cara-cara mengatur negara. Topik-topik ini juga menjelaskan tentang jalan pengembangan spiritual ā dari kedermawanan dan etika, melalui latihan pikiran dan penembusan kebijaksanaan, sepanjang jalan hingga pada pencapaian kebebasan. Ajaran-ajaran dari NikÄya-nikÄya yang dikumpulkan di sini memberikan pandangan yang memesona ke dalam bagaimana ajaran-ajaran Buddha dipelajari, dilestarikan, dan dipahami pada masa-masa awal pengembangan Buddhisme. Para pembaca modern akan merasa sangat beruntung untuk menjelaskan dan menegaskan pesan penting Sang Buddha tentang belas kasih, tanggung jawab etis, ketenangan pikiran, dan penglihatan, adalah sama relevannya pada masa sekarang seperti halnya pada lebih dari dua ribu lima ratus tahun lalu. Walaupun Buddhisme menyebar dan berakar di banyak bagian di Asia, berevolusi menjadi berbagai tradisi menurut tempat dan situasinya, jarak dan perbedaan bahasa membatasi pertukaran antar Buddhis di masa lalu. Salah satu akibat dari perkembangan modern dalam hal transportasi dan komunikasi yang sangat saya kagumi adalah begitu luasnya pertumbuhan kesempatan bagi mereka yang tertarik dalam ajaran dan praktik Buddhisme pada saat ini. Apa yang menurut saya sangat mendorong dalam buku ini adalah bahwa buku ini menunjukkan dengan begitu jelas betapa banyaknya kesamaan secara fundamental yang dimiliki oleh semua aliran Buddhisme. Saya mengucapkan selamat kepada Bhikkhu Bodhi atas karya kompilasi dan penerjemahan yang teliti ini. Saya mempersembahkan doa semoga para pembaca dapat menemukan nasihat di sini ā dan inspirasi untuk menerapkannya ke dalam praktik ā yang akan memungkinkan mereka mengembangkan kedamaian batin, yang saya percaya adalah penting untuk menciptakan dunia yang lebih berbahagia dan lebih damai. Yang Mulia Tenzin Gyatso Dalai Lama ke empat belas 10 Mei, 2005 Prakata Khotbah-khotbah Sang Buddha yang dilestarikan dalam Kanon pÄli disebut sutta-sutta, padanan PÄli untuk kata Sanskrit sÅ«tra-sÅ«tra. Walaupun Kanon PÄli adalah milik aliran Buddhis tertentu ā TheravÄda, atau Aliran para Sesepuh ā sutta-sutta itu bukanlah teks Buddhis TheravÄda secara eksklusif. Sutta-sutta itu berakar dari periode paling awal dari sejarah literatur Buddhis, suatu periode yang berlangsung kurang lebih seratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha, sebelum komunitas Buddhis yang asli terpecah menjadi aliran-aliran berbeda. Sutta-sutta PÄli memiliki padanan dari aliran Buddhis awal lainnya yang sekarang sudah punah, teks-teks yang kadang-kadang serupa dengan versi PÄli, hanya berbeda terutama pada bagian situasi dan pengaturannya tetapi bukan pada inti doktrin. Dengan demikian, sutta-sutta, bersama dengan padanannya, merupakan catatan tertua dari ajaran-ajaran Sang Buddha yang tersedia bagi kita; sutta-sutta itu adalah yang terdekat yang dapat kita lihat pada apa yang sesungguhnya secara historis diajarkan oleh Sang Buddha Gotama. Ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya berfungsi sebagai sumber mata air, sumber primer, bagi semua aliran doktrin dan praktik Buddhis yang berevolusi selama berabad-abad. Untuk alasan ini, sutta-sutta merupakan warisan umum bagi keseluruhan tradisi Buddhis, dan umat Buddhis dari semua aliran yang ingin memahami akar utama Buddhisme harus menjadikan pembelajaran saksama pada sutta-sutta ini sebagai prioritas. Dalam Kanon PÄli khotbah-khotbah Sang Buddha dilestarikan dalam koleksi-koleksi yang disebut NikÄya-nikÄya. Selama dua puluh tahun terakhir ini, terjemahan-terjemahan baru atas empat NikÄya utama telah dicetak, dan dipublikasikan dalam edisi-edisi yang menarik dan terjangkau. Wisdom Publications memulai pengembangan ini pada tahun 1987 ketika mempublikasikan terjemahan DÄ«gha NikÄya oleh Maurice Walshe, The Long Discourses of the Buddha. Wisdom melanjutkan gerakan ini dengan menerbitkan, pada tahun 1995, versi revisi dan suntingan saya atas terjemahan tulisan tangan Majjhima NikÄya oleh Bhikkhu ĆÄį¹amoli, The Middle Length Discourses of the Buddha, dilanjutkan dengan terjemahan baru saya atas Saį¹yutta NikÄya, The Connected Discourses of the Buddha. Pada tahun 1999, di bawah naungan The Sacred Literature Trust Series, AltaMira Press menerbitkan antologi sutta-sutta dari Aį¹ guttara NikÄya, yang diterjemahkan oleh almarhum Nyanaponika Thera dan saya, berjudul Numerical Discourses of the Buddha. Saat ini saya sedang mengerjakan terjemahan baru dari keseluruhan Aį¹ guttara NikÄya, yang akan diserahkan kepada Teachings of The Buddha Series dari Wisdom Publication. Banyak yang telah membaca karya-karya yang lebih besar ini memberitahu saya, yang memuaskan saya, bahwa terjemahan itu menghidupkan sutta-sutta itu bagi mereka. Namun orang-orang lain yang sungguh-sungguh berusaha memasuki samudera dalam NikÄya-nikÄya memberitahu saya sesuatu yang lain. Mereka mengatakan bahwa walaupun bahasa dalam terjemahan itu jauh lebih memudahkan mereka daripada terjemahan-terjemahan terdahulu, namun mereka masih bergulat untuk menemukan sudut pandang dari mana mereka melihat keseluruhan struktur dari sutta-sutta tersebut, suatu kerangka yang di dalamnya sutta-sutta itu cocok satu sama lain. NikÄya-nikÄya itu sendiri tidak banyak membantu dalam hal ini, karena pengaturannya ā dengan pengecualian khusus pada Saį¹yutta NikÄya, yang memiliki struktur tematik ā tampak nyaris serampangan. Dalam serangkaian kuliah yang saya mulai di Bodhi Monastery di New Jersey pada bulan Januari 2003, saya memikirkan suatu skema saya sendiri untuk mengatur isi dari Majjhima NikÄya. Skema ini menyingkapkan pesan Sang Buddha secara progresif, dari yang sederhana hingga yang sulit, dari yang mendasar hingga yang mendalam. Dalam merenungkan hal ini, saya melihat bahwa skema ini dapat diterapkan bukan hanya pada Majjhima NikÄya, tetapi juga pada keempat NikÄya secara keseluruhan. Buku sekarang ini mengatur sutta-sutta pilihan dari seluruh empat NikÄya dalam kerangka tematik dan progresifnya. Buku ini ditujukan kepada dua jenis pembaca. Yang pertama adalah mereka yang masih belum terbiasa dengan khotbah-khotbah Sang Buddha yang membutuhkan suatu pendahuluan sistematis. Bagi pembaca-pembaca ini, NikÄya-nikÄya tampak kabur. Seluruh keempatnya, dilihat sekaligus, mungkin terlihat seperti belantara ā kusut dan membingungkan, penuh dengan binatang buas yang tidak dikenali ā atau seperti samudera raya ā luas, hingar-bingar, dan menakutkan. Saya harap buku ini dapat berfungsi sebagai peta untuk membantu mereka melintasi jalan menembus belantara sutta-sutta atau sebagai sebuah kapal yang kokoh untuk membawa mereka menyeberangi samudera Dhamma. Jenis pembaca ke dua yang kepada mereka buku ini ditujukan adalah mereka, yang telah terbiasa dengan sutta-sutta, yang masih tidak dapat melihat bagaimana sutta-sutta itu cocok dalam suatu rangkaian menyeluruh yang dapat dipahami. Bagi pembaca-pembaca ini, sutta-sutta terpisah mungkin dapat dipahami secara terpisah, namun teks-teks tersebut secara keseluruhan tampak seperti potongan-potongan teka-teki menyusun gambar yang berserakan di atas meja. Begitu seseorang memahami skema buku ini, maka ia akan memiliki gagasan atas arsitektur ajaran. Kemudian, dengan sedikit perenungan, maka ia akan dapat menentukan tempat di mana sutta itu berlokasi dalam gudang Dhamma, apakah termasuk dalam antologi ini atau tidak. Antologi ini, atau antologi sutta-sutta lainnya, bukanlah pengganti NikÄya-nikÄya. Harapan saya ada dua, bersesuaian dengan kedua jenis pembaca yang kepada mereka buku itu dirancang 1 bahwa para pendatang baru pada literatur Buddhisme Awal menjadi lebih tertarik dan terdorong untuk terjun ke dalam NikÄya-nikÄya lengkap; dan 2 bahwa para pembaca NikÄya-nikÄya yang berpengalaman menyelesaikan buku ini dengan pemahaman yang lebih baik atas materi-materi yang telah mereka kuasai. Jika antologi ini dimaksudkan untuk memberikan poin lain lagi, ini adalah untuk menyampaikan luasnya kebijaksanaan Sang Buddha. Walaupun kadang-kadang Buddhisme Awal digambarkan sebagai suatu disiplin melepaskan keduniawian yang ditujukan khususnya kepada para petapa, namun khotbah-khotbah tua dari Kanon PÄli menunjukkan bahwa kebijaksanaan dan belas kasihan Sang Buddha menjangkau hingga ke kedalaman kehidupan duniawi, memberikan tuntunan berperilaku yang baik dan pemahaman benar kepada orang-orang biasa. Bukannya menjadi suatu sumpah bagi elit monastik, Buddhisme kuno juga terlibat dalam kolaborasi erat para perumah-tangga dengan kaum monastik dalam tugas ganda memelihara ajaran-ajaran Buddha dan saling membantu satu sama lain dalam usaha mereka untuk menapaki jalan menuju padamnya penderitaan. Untuk memenuhi tugas-tugas ini dengan penuh makna, Dhamma harus memberikan tuntunan, inspirasi, kegembiraan, dan penghiburan yang mendalam dan tidak habis-habisnya kepada mereka. Dhamma tidak akan pernah memenuhi hal ini jika tidak secara langsung memicu usaha sungguh-sungguh mereka untuk menggabungkan kewajiban sosial dan keluarga dengan cita-cita untuk mencapai yang tertinggi. Hampir seluruh paragraf yang termasuk dalam buku ini dipilih dari empat NikÄya yang disebutkan di atas. Hampir seluruhnya telah mengalami revisi, biasanya kecil tapi kadang-kadang besar, untuk menyesuaikan dengan evolusi pemahaman saya atas teks-teks dan bahasa PÄli. Saya memiliki sejumlah kecil sutta dari Aį¹ guttara NikÄya yang tidak termasuk dalam antologi yang disebutkan di atas. Saya juga telah memasukkan beberapa sutta dari UdÄna dan Itivuttaka, dua buku kecil dari NikÄya ke lima, Khuddaka NikÄya, koleksi kecil atau bunga rampai. Saya mendasarkan ini atas terjemahan John D. Ireland, yang diterbitkan oleh Buddhist Publication Society di Sri Lanka, tetapi sekali lagi saya telah dengan bebas menyesuaikannya dengan gaya bahasa dan terminologi yang saya sukai. Saya memprioritaskan sutta-sutta dalam bentuk prosa daripada syair, karena lebih langsung dan eksplisit. Jika sebuah sutta ditutup dengan syair-syair, jika syair-syair itu hanya mengulangi prosa sebelumnya, maka untuk menghemat tempat, saya mengabaikannya. Tiap-tiap bab dimulai dengan pendahuluan yang mana saya menjelaskan konsep yang menonjol yang relevan dengan tema bab tersebut dan berusaha untuk menunjukkan bagaimana teks-teks yang saya pilih memberikan contoh pada tema itu. Untuk menjelaskan hal-hal yang muncul baik dari pendahuluan maupun dari teks-teks, saya telah mencantumkan catatan kaki. Catatan-catatan ini sering kali diambil dari komentar klasik pada NikÄya-nikÄya yang diduga berasal dari komentator besar India Selatan bernama Äcariya Buddhaghosa, yang bekerja di Sri Lanka pada abad ke lima Masehi. Demi keringkasan, saya tidak mencantumkan catatan sebanyak yang saya berikan pada terjemahan NikÄya lainnya. Catatan-catatan itu juga tidak se-teknis yang terdapat pada terjemahan lengkap. Rujukan-rujukan pada sumber tercantum pada tiap-tiap pilihan. Rujukan-rujukan pada teks-teks dari DÄ«gha NikÄya dan Majjhima NikÄya mencantumkan nomor dan nama sutta dalam PÄli; paragraf-paragraf dari dua koleksi ini mempertahankan nomor paragraf yang digunakan dalam The Long Discourses of the Buddha dan The Middle Length Discourses of the Buddha, agar pembaca yang ingin menemukan paragraf-paragraf ini dalam terjemahan lengkapnya dapat dengan mudah melakukannya. Rujukan-rujukan teks dari Saį¹yutta NikÄya mencantumkan saį¹yutta dan nomor sutta; teks-teks dari Aį¹ guttara NikÄya mencantumkan nipÄta dan nomor sutta Yang Satu dan Yang Dua juga mencantumkan bab-bab di dalam nipÄta diikuti dengan nomor sutta. Rujukan-rujukan pada teks-teks dari UdÄna mencantumkan nipÄta dan nomor sutta; teks-teks dari Itivuttaka hanya mencantumkan nomor sutta. Semua rujukan diikuti dengan nomor buku dan nomor halaman dalam edisi standar Pali Text Society atas buku-buku ini. Saya berterima kasih kepada Timothy McNeill dan David Kittelstrom dari Wisdom Publications karena mendorong saya untuk tetap melanjutkan proyek ini dalam periode panjang kesehatan yang buruk. SÄmaį¹era AnÄlayo dan Bhikkhu Nyanasobhano yang membaca dan mengomentari pendahuluan saya, dan John Kelly yang memeriksa keseluruhan buku. Mereka bertiga memberikan saran-saran, yang sangat membantu. John Kelly juga mempersiapkan tabel sumber yang terdapat pada bagian akhir buku ini. Akhirnya, saya berterima kasih kepada para murid-murid saya dalam pembelajaran PÄli dan Dhamma di Bodhi Monastery atas semangat dan ketertarikan mereka dalam ajaran-ajaran dari NikÄya-nikÄya, yang menginspirasi saya untuk menyusun antologi ini. Saya secara khusus berterima kasih pada pendiri vihara yang luar biasa, Yang Mulia Master Jen-Chun, atas sambutannya pada aliran Buddhis lain ke viharanya dan atas ketertarikannya dalam menjembatani transmisi ajaran-ajaran Buddhis Awal Utara dan Selatan. Bhikkhu Bodhi Pendahuluan Umum Menyingkap Struktur Ajaran Walaupun ajaran Beliau adalah sangat sistematis, namun tidak ada satu teks pun yang dapat dianggap berasal dari Sang Buddha yang dengannya Beliau mendefinisikan arsitektur Dhamma, perancah yang di atasnya Beliau membingkai ungkapan spesifik dari doktrin. Dalam perjalanan panjang pengajaranNya, Sang Buddha mengajarkan dalam berbagai cara sesuai situasi dan kondisi. Kadang-kadang Beliau menjelaskan prinsip-prinsip tanpa kecuali yang berdiri di jantung ajaran. Kadang-kadang Beliau akan menyesuaikan ajaran dengan watak dan kecenderungan orang-orang yang mendatanginya untuk mendapatkan bimbingan. Kadang-kadang Beliau akan mengatur pembabaranNya agar sesuai dengan situasi yang menuntut suatu jawaban tertentu. Tetapi di sepanjang koleksi teks ini sampai kepada kita sebagai āKata-kata Sang Buddha,ā āyang otentik,ā kita tidak menemukan satu sutta, satu khotbah, di mana Sang buddha mengumpulkan semua unsur-unsur ajaranNya dan menempatkannya pada tempat tertentu dalam suatu sistem yang komprehensif. Walaupun dalam suatu budaya literatur di mana pemikiran sistematis sangat dijunjung tinggi, maka ketiadaan teks yang berfungsi sebagai kesatuan demikian dapat dipandang sebagai suatu cacat, dalam suatu budaya lisan sepenuhnya ā seperti budaya di mana Sang Buddha hidup dan berkelana ā ketiadaan kunci yang menjelaskan Dhamma nyaris tidak dianggap sebagai suatu hal yang penting. Dalam budaya ini baik guru maupun murid tidak bertujuan untuk memiliki sistem ide-ide yang lengkap; murid-muridnya tidak berkeinginan untuk mempelajari sistem ide-ide yang lengkap. Tujuan yang menyatukannya dalam proses pembelajaran ā proses transmisi ā adalah latihan praktis, transformasi-diri, dan penembusan kebenaran, dan kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ajaran selalu berguna dalam segala situasi. Ada kalanya Sang Buddha menyajikan pandangan-pandangan yang lebih luas dari Dhamma yang menyatukan banyak komponen sang jalan dalam struktur mencakup bidang yang luas dan bertingkat. Tetapi walaupun terdapat beberapa khotbah yang memperlihatkan cakupan yang luas, namun masih belum merangkul semua unsur Dhamma dalam satu skema terpusat. Tujuan dari buku ini adalah untuk mengembangkan dan memberikan contoh pada skema demikian. Di sini saya mencoba untuk memberikan suatu gambaran komprehensif dari ajaran Sang Buddha yang menggabungkan berbagai sutta ke dalam suatu struktur organik. Struktur ini, saya harap, akan menjelaskan pola yang mendasari formulasi Sang Buddha pada Dhamma dan dengan demikian memberikan kepada pembaca suatu tuntunan untuk memahami Buddhisme Awal secara keseluruhan. Saya memilih sutta-sutta yang hampir seluruhnya berasal dari empat koleksi utama atau NikÄya dari Kanon PÄli, walaupun saya juga memasukkan sedikit teks dari UdÄna dan Itivuttaka, dua buku kecil dari koleksi ke lima, Khuddaka NikÄya. Masing-masing bab dimulai dengan pendahuluannya masing-masing, yang mana saya menjelaskan konsep dasar Buddhisme Awal yang dijelaskan dalam teks-teks dan menunjukkan bagaimana teks-teks ini mengungkapkan ekspresinya pada ide-ide ini. Saya akan secara singkat memberikan informasi latar belakang tentang NikÄya-nikÄya dalam pendahuluan masing-masing bab. Akan tetapi, pertama-tama, saya ingin menggambarkan skema yang telah saya rencanakan untuk mengorganisasi sutta-sutta. Walaupun penggunaan khusus skema ini mungkin masih asli, namun bukan suatu inovasi penting melainkan berdasarkan pada tiga pembedaan yang dilakukan oleh komentar-komentar PÄli pada jenis-jenis manfaat yang dicapai melalui praktik Dhamma 1 kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan ini; 2 kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang; dan 3 kebaikan tertinggi, NibbÄna Skt nirvÄį¹a. Tiga bab pertama dirancang untuk menuntun mereka yang menganut skema tiga ini. Bab I adalah suatu pengamatan pada kondisi manusia terlepas dari munculnya seorang Buddha di dunia ini. Mungkin hal ini adalah jalan kehidupan manusia yang terlihat oleh Bodhisatta ā Calon Buddha ā ketika Beliau berdiam di alam surga Tusita memandang ke bumi, menunggu saat yang tepat untuk turun dan menjalani kelahiran terakhirNya. Kita melihat sebuah dunia di mana makhluk-makhluk hidup tanpa daya didorong menuju penuaan dan kematian; yang mana mereka diputar oleh situasi sehingga ditindas oleh kesakitan jasmani, dijatuhkan oleh kegagalan dan kemalangan, dicemaskan dan ditakuti oleh perubahan dan kemunduran. Ini adalah dunia di mana orang-orang ingin hidup damai, tetapi juga di mana emosi liar mereka berulang kali memaksa mereka, melawan penilaian baik mereka, beradu dalam konflik yang meningkat menjadi kekerasan dan kehancuran massal. Akhirnya, dengan mengambil pandangan yang terluas dari semua ini, dunia ini adalah di mana makhluk-makhluk hidup bergerak maju, oleh ketidak-tahuan dan ketagihan mereka sendiri, dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya, mengembara secara membuta melalui lingkaran kembali yang disebut saį¹sÄra. Bab II mengisahkan tentang turunnya Sang Buddha ke dunia ini. Beliau datang sebagai āseseorangā yang muncul demi belas kasihan kepada dunia, yang kemunculanNya ke dunia ini adalah āmanifestasi dari cahaya agung.ā Kita mengikuti kisah konsepsi dan kelahiranNya, pelepasan keduniawian dan pencarianNya akan pencerahan, penembusannya pada Dhamma, dan keputusanNya untuk mengajar. Bab ini ditutup dengan khotbah pertama Beliau kepada lima bhikkhu, para siswa pertamaNya, di Taman Rusa di dekat BÄrÄį¹asi. Bab III dimaksudkan untuk memberikan sketsa pada ciri khusus ajaran Buddha dan dengan menyimpulkan, sikap yang dengannya seorang siswa yang prospektif seharusnya mendatangi ajaran. Teks-teks itu memberitahukan kepada kita bahwa Dhamma bukanlah suatu rahasia atau ajaran esoteris melainkan sesuatu yang ābersinar ketika diajarkan secara terbuka.ā Ajaran ini tidak menuntut keyakinan membuta dalam kitab-kitab otoriter, dalam rahasia-rahasia surgawi, atau dogma-dogma tidak sempurna, tetapi mengundang penyelidikan dan menarik untuk dialami secara pribadi sebagai kriteria tertinggi untuk menentukan validitasnya. Ajaran ini berkenaan dengan muncul dan lenyapnya penderitaan, yang dapat diamati dalam pengalaman pribadi seseorang. Ajaran ini bahkan tidak menempatkan Sang Buddha sebagai otoritas yang tanpa cela tetapi mengundang kita untuk memeriksa Beliau untuk menentukan apakah Beliau sepenuhnya layak untuk mendapatkan kepercayaan dan keyakinan kita. Akhirnya, ajaran ini menawarkan prosedur langkah demi langkah yang mana kita dapat menguji ajaran ini, dan dengan melakukannya kita dapat menembus kebenaran mutlak itu untuk kita sendiri. Dengan bab IV, kita sampai pada teks-teks yang membahas tentang yang pertama dari tiga jenis manfaat yang dibawa oleh ajaran Buddha. Ini disebut ākesejahteraan dan kebahagiaan yang terlihat dalam kehidupan iniā diį¹į¹hadhamma-hitasukha, kebahagiaan yang dihasilkan dari mengikuti norma-norma etis dalam hubungan kekeluargaan, penghidupan, dan aktivitas-aktivitas komunal. Walaupun Buddhisme Awal sering kali digambarkan sebagai suatu disiplin meninggalkan keduniawian yang radikal yang diarahkan pada tujuan transendental, namun NikÄya-nikÄya mengungkapkan Sang Buddha sebagai seorang guru yang penuh belas kasihan dan pragmatis yang berniat untuk memajukan tatanan sosial di mana masyarakat dapat hidup bersama dengan damai dan harmonis sesuai dengan pedoman etis. Aspek dari Buddhisme Awal ini jelas dalam ajaran Buddha tentang tugas-tugas anak kepada orang tuanya, tentang kewajiban timbal balik antara suami dan istri, tentang penghidupan benar, tentang tugas-tugas penguasa terhadap subjeknya, dan tentang prinsip-prinsip keharmonisan dan penghormatan komunal. Jenis manfaat ke dua ke arah mana ajaran Buddha menuntun adalah topik dari Bab V, yang disebut kesejahteraan dan kebahagiaan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang samparÄyika-hitasukha. Ini adalah kebahagiaan yang dicapai dengan memperoleh kelahiran kembali dan keberhasilan yang menguntungkan dalam kehidupan-kehidupan mendatang melalui akumulasi jasa seseorang. Kata ājasaā puƱƱa merujuk pada kamma Skt karma bermanfaat yang diartikan dalam hal kapasitasnya dalam menghasilkan akibat-akibat yang menyenangkan di dalam lingkaran kelahiran kembali. Saya memulai bab ini dengan pilihan sutta-sutta tentang ajaran kamma dan kelahiran kembali. Hal ini mengarahkan kita pada teks-teks umum tentang gagasan jasa, diikuti oleh sutta-sutta pilihan tentang tiga ālandasan jasaā utama yang dikenali dalam khotbah-khotbah Sang Buddha memberi dÄna, disiplin moral sÄ«la, dan meditasi bhÄvanÄ. Karena meditasi muncul secara menonjol dalam jenis manfaat ke tiga, maka jenis meditasi yang ditekankan di sini, sebagai suatu landasan jasa, adalah yang produktif menghasilkan buah berlimpah, yaitu empat ākediaman brahmaā brahmavihÄra, khususnya pengembangan cinta kasih. Bab VI adalah bab transisi, dimaksudkan untuk mempersiapkan jalan bagi bab-bab selanjutnya. Sambil mendemonstrasikan bahwa praktik ajaran Beliau sesungguhnya mengarah menuju kebahagiaan dan keberuntungan di dalam cakupan kehidupan duniawi, untuk membimbing orang-orang melampaui cakupan ini, Sang Buddha mengungkapkan bahaya dan kelemahan dari segala kehidupan terkondisi. Beliau menunjukkan cacat dalam kenikmatan indria, kekurangan dalam keberhasilan material, kematian yang tidak dapat dihindari, dan ketidak-kekalan dari segala alam makhluk-makhluk terkondisi. Untuk membangkitkan dalam diri para siswaNya suatu aspirasi pada kebaikan tertinggi, NibbÄna, Sang Buddha berulang-ulang menekankan bahaya saį¹sÄra. Demikianlah bab ini sampai pada puncaknya dengan dua teks dramatis yang berkisar tentang kesengsaraan karena diperbudak oleh lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. Empat bab berikutnya dikhususkan untuk manfaat ke tiga yang dibawa oleh Ajaran Buddha kebaikan tertinggi paramattha, pencapaian NibbÄna. Yang pertama, Bab VII, memberikan tinjauan umum pada jalan menuju kebebasan, yang diperlakukan secara analitis melalui definisi faktor-faktor Jalan Mulia Berunsur Delapan dan secara dinamis melalui kisah perjalanan latihan bhikkhu. Sepanjang sutta tentang jalan bertahap menelusuri latihan monastik dari sejak bhikkhu ditahbiskan ketika ia meninggalkan keduniawian hingga pencapaiannya pada Kearahantaan, tujuan akhir. Bab VIII berfokus pada menjinakkan pikiran, penekanan utama pada latihan monastik. Di sini saya menyajikan teks-teks yang membahas rintangan-rintangan pengembangan batin, alat untuk mengatasi rintangan-rintangan ini, metode-metode meditasi yang berbeda-beda, dan kondisi-kondisi yang harus dicapai ketika rintangan-rintangan ini telah teratasi dan sang siswa telah menguasai pikirannya. Dalam bab ini saya memperkenalkan perbedaan antara samatha dan vipassana, ketenangan dan pandangan terang, yang satu mengarah pada samÄdhi atau konsentrasi, yang lain mengarah pada paĆ±Ć±Ä atau kebijaksanaan. Akan tetapi, saya memasukkan teks-teks yang memperlakukan pandangan terang hanya dalam hal metode-metode yang digunakan untuk menghasilkannya, bukan dalam hal kandungan sesungguhnya. Bab IX, berjudul āMenyalakan Cahaya Kebijaksanaan,ā membahas kandungan yang terdapat dalam pandangan terang. Bagi Buddhisme Awal, dan sebenarnya bagi hampir semua aliran Buddhisme, pandangan terang atau kebijaksanaan adalah alat utama bagi kebebasan. Demikianlah dalam bab ini saya berfokus pada ajaran Sang Buddha tentang topik ini yang sangat penting bagi pengembangan kebijaksanaan sebagai pandangan benar, kelima kelompok unsur kehidupan, keenam landasan indria, kedelapan belas unsur, kemunculan bergantungan, dan Empat Kebenaran Mulia. Bab ini ditutup dengan teks-teks pilihan tentang NibbÄna, tujuan utama kebijaksanaan. Tujuan akhir tidak dicapai secara tiba-tiba tetapi dengan melewati serangkaian tahapan yang mentransformasikan seseorang dari seorang kaum duniawi menjadi seorang Arahant, seorang yang terbebaskan. Demikianlah bab X, āTingkatan Pencapaian,ā menawarkan teks-teks pilihan tentang tahapan-tahapan sepanjang perjalanan. Pertama-tama saya menyajikan serangkaian tahapan sebagai urutan progresif; kemudian saya kembali ke titik awal dan memeriksa tiga titik aman utama dalam rangkaian ini memasuki-arus, tingkat yang-tidak-kembali, dan Kearahantaan. Saya menutupnya dengan pilihan sutta-sutta tentang Sang Buddha, yang terkemuka di antara para Arahant, di sini disebutkan dengan gelar yang sering Beliau gunakan ketika merujuk pada diriNya sendiri, Sang TathÄgata. Asal-Mula NikÄya-NikÄya Teks-teks yang saya ambil untuk mengisi skema saya adalah, seperti yang telah saya katakan di atas, semuanya diambil dari NikÄya-nikÄya, koleksi sutta-sutta utama dari Kanon PÄli. Sedikit kata-kata diperlukan untuk menjelaskan asal-mula dan sifat dari sumber-sumber ini. Sang Buddha tidak menuliskan ajaran-ajaran ini, juga ajaran-ajaran ini tidak dicatat dalam bentuk tulisan oleh para siswaNya. Budaya India pada masa Sang Buddha hidup adalah masih sebagian besar belum mengenal Sang Buddha mengembara dari satu pemukiman ke pemukiman lain di sepanjang dataran Gangga, memberikan instruksi kepada para bhikkhu dan bhikkhunÄ«, membabarkan khotbah kepada para perumah-tangga yang berkumpul untuk mendengarkan Beliau berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para penanya yang ingin tahu, dan terlibat dalam diskusi dengan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat. Catatan ajaran-ajaranNya yang kita miliki sekarang tidak datang dari penaNya sendiri atau dari catatan yang dibuat oleh mereka yang mendengarkan ajaran dari Beliau, melainkan dari konsili monastik yang diadakan setelah Beliau parinibbÄna ā wafatNya ke dalam NibbÄna ā dengan tujuan untuk melestarikan ajaranNya. Sangat tidak mungkin bahwa ajaran-ajaran yang diturunkan dari konsili-konsili ini mereproduksi kata-kata Sang Buddha secara persis sama. Sang Buddha pasti berbicara secara spontan dan menjelaskan temanya dalam berbagai cara sebagai respon pada berbagai kebutuhan dari mereka yang memohon tuntunan dari Beliau. Melestarikan melalui penyampaian lisan dari begitu banyak material adalah nyaris mustahil. Untuk membentuk ajaran-ajaran itu dalam suatu format yang sesuai untuk pelestarian, para bhikkhu yang bertanggung jawab dalam hal teks-teks harus menyusun dan menyuntingnya untuk memudahkan dalam mendengarkan, mengingat, menghafal, dan mengulang ā lima unsur utama dalam penyampaian lisan. Proses ini, yang mungkin telah dimulai pada masa kehidupan Sang Buddha, mungkin telah mengarah pada suatu tingkat penyederhanaan dan standarisasi material untuk dilestarikan. Selama masa kehidupan Sang Buddha, khotbah-khotbah dikelompokkan dalam sembilan kategori menurut jenis literatur sutta khotbah-khotbah berbentuk prosa, geyya campuran prosa dan syair, veyyÄkaraį¹a jawaban atas pertanyaan, gÄthÄ syair, udÄna ucapan-ucapan inspiratif, itivuttaka ucapan-ucapan mengesankan, jÄtaka kisah-kisah kehidupan lampau, abbhutadhamma kualitas-kualitas menakjubkan, dan vedalla tanya-jawab.2 Pada suatu titik tertentu setelah wafatNya, sistem pengelompokkan lama ini tergantikan oleh suatu skema baru yang menata teks-teks dalam koleksi-koleksi yang lebih besar yang disebut NikÄya-nikÄya dalam tradisi Buddhis TheravÄda, Ägama dalam aliran Buddhis di India Kapan tepatnya skema NikÄya-Ägama ini menjadi suatu otoritas tidak diketahui dengan pasti, namun kemunculannya seketika menggantikan sistem lama. Cullavagga, salah satu buku dari Vinaya Piį¹aka PÄli, memberikan penjelasan tentang bagaimana teks-teks yang sah disusun pada konsili Buddhis pertama, yang diselenggarakan pada tiga bulan setelah parinibbÄna Sang Buddha. Menurut laporan ini, tidak lama setelah wafatnya Sang Buddha, Bhikkhu MahÄkassapa, pemimpin Saį¹ gha secara de fakto, memilih lima ratus bhikkhu, seluruhnya Arahant atau yang telah terbebaskan, untuk berkumpul dan menyusun suatu versi ajaran-ajaran yang sah. Konsili ini memakan waktu selama masa vassa di RÄjagaha sekarang Rajgir, ibukota Magadha, kelak menjadi negeri yang besar di India Pertama-tama MahÄkassapa meminta Yang Mulia UpÄli, yang terkemuka dalam hal-hal disiplin, untuk mengulangi Vinaya. Dengan berdasarkan pengulangan ini, Vinaya Piį¹aka, kompilasi tentang Disiplin, disusun. Kemudian MahÄkassapa meminta Yang Mulia Änanda untuk mengulang āDhamma,ā yaitu, khotbah-khotbah, dan dengan berdasarkan pada pengulangan ini, Sutta Piį¹aka, kompilasi khotbah-khotbah, disusun. Cullavagga menyebutkan bahwa ketika Änanda mengulang Sutta Piį¹aka, NikÄya-nikÄya memiliki isi yang sama seperti yang terdapat sekarang ini, dengan sutta-sutta disusun dalam urutan yang sama seperti terdapat dalam Kanon PÄli sekarang. Narasi ini tidak diragukan mencatat sejarah masa lalu melalui lensa masa belakangan. Ägama dari aliran Buddhis selain TheravÄda bersesuaian dengan empat NikÄya utama, tetapi Ägama mengelompokkan sutta-sutta secara berbeda isinya disusun dalam urutan berbeda dengan NikÄya-nikÄya PÄli. Hal ini menyiratkan bahwa jika penataan NikÄya-Ägama terjadi pada konsili pertama, maka konsili belum menyusun sutta-sutta pada tempatnya dalam skema ini. Dengan kata lain, adalah mungkin bahwa skema ini muncul pada masa belakangan. Mungkin muncul pada suatu masa tertentu setelah konsili pertama tetapi sebelum Saį¹ gha terpecah menjadi aliran-aliran berbeda. Jika skema ini muncul pada masa pembagian sekte-sekte, maka hal ini mungkin diperkenalkan oleh salah satu aliran dan kemudian digunakan oleh aliran lainnya, sehingga aliran-aliran berbeda akan menempatkan teks-teks mereka pada tempat-tempat berbeda dalam skema ini. Walaupun kisah Cullavagga tentang konsili pertama mungkin termasuk materi legendaris yang tercampur dengan fakta historis, namun tampaknya tidak ada alasan untuk meragukan peran Änanda dalam pelestarian khotbah-khotbah. Sebagai pelayan pribadi Sang Buddha, Änanda telah mempelajari khotbah-khotbah dari Beliau dan dari para siswa besar lainnya, mengingatnya, dan mengajarkannya kepada orang lain. Pada masa Sang Buddha ia dipuji atas daya ingatnya dan ditunjuk sebagai āyang terunggul di antara mereka yang telah banyak belajarā etadaggaį¹ bahussutÄnaį¹.5 Sedikit bhikkhu yang mungkin memiliki ingatan yang menyamai ingatan Änanda, tetapi pada kehidupan Sang Buddha masing-masing bhikkhu pasti telah mulai menguasai teks tertentu. Standarisasi dan penyederhanaan materi mungkin telah mempermudah penghafalan mereka. Begitu teks-teks dikelompokkan menjadi NikÄya-nikÄya atau Ägama, tantangan pelestarian dan penyampaian warisan tekstual terpecahkan dengan pengaturan para ahli tekstual dalam kelompok-kelompok yang khusus mempelajari koleksi tertentu. Dengan demikian kelompok-kelompok berbeda dalam Saį¹ gha dapat berfokus pada penghafalan dan penginterpretasian koleksi-koleksi berbeda dan komunitas secara keseluruhan dapat menghindari penugasan berlebihan pada ingatan para bhikkhu secara individu. Adalah dengan cara ini ajaran-ajaran dapat terus diturunkan selama tiga atau empat ratus tahun berikutnya, hingga akhirnya Dalam abad-abad setelah wafatnya Sang Buddha, Saį¹ gha menjadi terpecah dalam hal-hal disiplin maupun doktrin hingga pada abad ke tiga setelah parinibbÄna terdapat setidaknya delapan belas aliran Buddhisme. Masing-masing sekte mungkin memiliki koleksi teks masing-masing yang dianggap sebagai kanonis, walaupun adalah mungkin bahwa beberapa sekte yang berhubungan dekat berbagi koleksi teks sah yang sama. Walaupun aliran-aliran Buddhis berbeda mungkin menyusun koleksi mereka dengan cara berbeda dan walaupun sutta-sutta mereka memperlihatkan perbedaan-perbedaan dalam detil-detilnya, namun masing-masing sutta sering kali serupa, kadang-kadang bahkan nyaris identik, dan doktrin-doktrin dan praktik yang digambarkan pada intinya adalah Perbedaan doktrin antar aliran tidak muncul dari sutta-sutta itu sendiri melainkan dari interpretasi dari para ahli tekstual yang mempengaruhinya. Perbedaan demikian yang diperkuat setelah aliran-aliran saingan memformulasikan prinsip-prinsip filosofis mereka dalam naskah-naskah dan komentar-komentar yang menunjukkan sudut pandang yang membedakan pada hal-hal doktrin. Sejauh yang dapat kita tentukan, sistem filosofis yang telah diperhalus hanya sedikit mempengaruhi teks aslinya, yang aliran-aliran itu sepertinya enggan untuk mengubahnya untuk menyesuaikan dengan agenda doktrin mereka. Sebaliknya, melalui komentar-komentar, mereka berusaha untuk menginterpretasikan sutta-sutta sedemikian untuk menarik keluar ide-ide yang mendukung pandangan mereka. Tidaklah lazim bagi interpretasi-interpretasi demikian untuk tampil defensif dan terencana, membela diri melawan kata-kata dari teks aslinya. Kanon PÄli Yang menyedihkan, koleksi kanonis milik sebagian besar aliran besar Buddhisme Awal India telah hilang ketika Buddhisme India dihancurkan oleh Muslim yang menyerbu India Utara pada abad ke sebelas dan dua belas. Penyerbuan ini secara efektif mendentangkan lonceng kematian bagi Buddhisme di tanah kelahirannya. Hanya satu koleksi teks milik salah satu aliran Buddhis India yang berhasil diselamatkan. Koleksi ini dilestarikan dalam bahasa yang kita kenal sebagai PÄli. Koleksi ini milik aliran TheravÄda kuno, yang telah dicangkokkan ke Sri Lanka pada abad ke tiga sebelum Masehi, dan dengan demikian berhasil selamat dari malapetaka yang dialami Buddhisme di tanah kelahirannya. Pada waktu yang kurang lebih sama, TheravÄda juga menyebar ke Asia Tenggara dan selama abad-abad berikutnya menjadi berkembang di seluruh wilayah itu. Kanon PÄli adalah koleksi teks yang dianggap oleh TheravÄda sebagai kata-kata Sang Buddha buddhavacana. Fakta bahwa teks-teks dalam koleksi ini selamat sebagai sebuah kanon tunggal bukan berarti bahwa teks-teks ini berasal dari periode yang sama; juga bukan berarti bahwa teks-teks ini membentuk titik pangkal kuno yang pasti lebih tua daripada padanannya dari aliran Buddhis lainnya, yang banyak berhasil diselamatkan dalam bahasa China atau Tibet sebagai bagian dari keseluruhan kanon atau, dalam beberapa kasus, sebagai teks terpisah dalam Bahasa India lainnya. Meskipun demikian, Kanon PÄli sangat penting bagi kita setidaknya untuk tiga alasan. Pertama, ini adalah sebuah koleksi lengkap yang seluruhnya berasal dari satu aliran tunggal. Walaupun kita dapat mendeteksi gambaran nyata dari pengembangan historis antara bagian-bagian berbeda dari kanon, penyejajaran ini dengan sebuah aliran tunggal memberikan suatu tingkat keseragaman tertentu pada teks-teks ini. Di antara teks-teks yang berakar dari periode yang sama, kita bahkan dapat menyebutkan kesamaan isinya, suatu rasa tunggal yang mendasari banyak ungkapan dalam doktrin. Kesamaan ini jelas terlihat dalam empat NikÄya dan bagian-bagian lebih tua dari NikÄya ke lima dan memberikan kepada kita alasan untuk mempercayai bahwa teks-teks ini ā mengizinkan kualifikasi yang dinyatakan di atas, bahwa teks-teks tersebut memiliki padanan dalam aliran-aliran Buddhis lainnya yang telah punah ā kita dapat mencapai lapisan tertua dari literatur Buddhis yang dapat ditemukan. Ke dua, keseluruhan koleksi telah dilestarikan dalam Bahasa Indo Arya Tengah, salah satu yang sangat dekat hubungannya atau, mungkin juga, berbagai dialek religius bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha. Kita menyebut bahasa ini sebagai PÄli, tetapi nama untuk bahasa ini sesungguhnya muncul dari kesalah-pahaman. Kata pÄli sesungguhnya berarti āteks,ā yaitu, teks kanonis yang dibedakan dengan komentar-komentar. Komentator-komentator merujuk pada bahasa yang digunakan untuk melestarikan teks itu sebagai pÄlibhÄsÄ, ābahasa dari teks-teks.ā Pada suatu titik tertentu, kata itu disalahpahami sebagai āBahasa PÄli,ā dan begitu kesalah-pahaman muncul, hal itu menjadi berakar dan kita gunakan sejak itu. Para cendikiawan menganggap bahasa ini sebagai suatu bahasa campuran yang menunjukkan ciri-ciri dari beberapa dialek Prakrit yang digunakan sekitar abad ke tiga sebelum Masehi, yang mengalami sebagian proses Walaupun bahasa ini tidak identik dengan bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha sendiri, namun bahasa ini adalah bagian dari keluarga besar bahasa yang sama seperti yang Beliau gunakan dan berasal dari matriks konseptual yang sama. Dengan demikian bahasa ini mencerminkan dunia-pemikiran yang diwarisi Sang Buddha dari budaya India yang lebih luas di mana Beliau dilahirkan, sehingga kata-katanya menangkap nuansa halus yang tidak terhindarkan bahkan dalam terjemahan yang paling teliti sekali pun. Alasan ke tiga pentingnya Kanon PÄli adalah bahwa koleksi ini merupakan otoritas bagi aliran Buddhis masa kini. Tidak seperti koleksi-koleksi tekstual dari aliran-aliran Buddhisme Awal yang telah punah, yang hanya menarik bagi kalangan akademis, koleksi-koleksi ini masih sarat dengan kehidupan. Koleksi ini menginspirasi keyakinan jutaan Buddhis dari desa-desa dan vihara-vihara di Sri Lanka, Myanmar, dan Asia Tenggara hingga kota-kota dan pusat-pusat meditasi di Eropa dan Amerika. Koleksi ini membentuk pemahaman mereka, membimbing mereka dalam menghadapi pilihan-pilihan etis yang sulit, menuntun praktik meditasi mereka, dan menawarkan kepada mereka kunci menuju pandangan cerah yang membebaskan. Kanon PÄli umumnya dikenal sebagai Tipiį¹aka, āTiga Keranjangā atau āTiga Kompilasi.ā Tiga pengelompokan ini tidak hanya berlaku pada aliran TheravÄda tetapi juga menjadi penggunaan umum di antara aliran-aliran Buddhis India sebagai cara untuk mengelompokkan teks-teks kanonis Buddhis. Bahkan pada masa kini kitab-kitab yang dilestarikan dalam terjemahan Bahasa China dikenal sebagai Tripiį¹aka China. Ketiga kompilasi Kanon PÄli ini adalah Vinaya Piį¹aka, Kompilasi Disiplin, yang berisikan aturan-aturan yang ditetapkan sebagai tuntunan bagi para bhikkhu dan bhikkhunÄ« dan peraturan-peraturan yang ditetapkan demi kerukunan kelompok monastik. Sutta Piį¹aka, Kompilasi Khotbah-khotbah, yang berisikan sutta-sutta, khotbah-khotbah Sang Buddha dan para siswa serta karya-karya inspirasional dalam syair, syair narasi, dan karya-karya tertentu yang bersifat komentar. Abhidhamma Piį¹aka, Kompilasi Filosofis, sebuah koleksi yang terdiri dari tujuh naskah yang bertemakan ajaran-ajaran Buddha dalam sistematisasi filosofis terperinci. Abhidhamma Piį¹aka jelas adalah produk dari tahap evolusi pemikiran Buddhis yang lebih belakangan daripada kedua Piį¹aka lainnya. Versi PÄli yang mewakili aliran TheravÄda mencoba mensistematisasikan ajaran-ajaran tua. Aliran-aliran awal lainnya jelas memiliki sistem Abhidhamma mereka sendiri. Sistem SarvÄstivÄda adalah satu-satunya yang teks kanonisnya selamat dan utuh secara keseluruhan. Koleksi kanonisnya, seperti halnya versi PÄli, juga terdiri dari tujuh naskah. Teks-teks ini aslinya disusun dalam Sanskrit tetapi dilestarikan sepenuhnya hanya dalam terjemahan China. Sistem yang mereka definisikan jauh berbeda dengan padanan TheravÄda baik dalam hal formulasi maupun filosofi. Sutta Piį¹aka, yang mengandung catatan-catatan khotbah-khotbah dan pembahasan Sang Buddha, terdiri dari lima koleksi yang disebut NikÄya-nikÄya. Pada masa komentator NikÄya-nikÄya ini juga disebut sebagai Ägama-Ägama, seperti halnya padanannya dalam Buddhisme utara. Keempat NikÄya utama adalah DÄ«gha NikÄya Koleksi Khotbah-khotbah Panjang, tiga puluh empat sutta yang disusun dalam tiga vagga, atau buku. Majjhima NikÄya Koleksi Khotbah-khotbah Menengah, 152 sutta yang disusun dalam tiga vagga. Saį¹yutta NikÄya Koleksi Khotbah-khotbah Berkelompok, hampir 3000 sutta pendek yang dikelompokkan dalam lima puluh enam bab atau saį¹yutta, yang disusun dalam lima vagga. Aį¹ guttara NikÄya Koleksi Khotbah-khotbah Bernomor atau mungkin, āKhotbah-khotbah Menaikā, kurang lebih 2,400 sutta-sutta pendek yang disusun dalam sebelas bab, yang disebut nipÄta. DÄ«gha NikÄya dan Majjhima NikÄya, sekilas, tampak dibentuk secara prinsip menurut landasan panjangnya khotbah-khotbah panjang masuk ke dalam DÄ«gha, khotbah-khotbah dengan panjang menengah masuk ke dalam Majjhima. Akan tetapi, dengan pengamatan teliti pada isinya, terlihat faktor lain yang mungkin mendasari perbedaan kedua koleksi ini. Sutta-sutta dalam DÄ«gha NikÄya terutama ditujukan kepada para pendengar umum dan tampaknya dimaksudkan untuk menarik potensi pengalihan keyakinan kepada ajaran dengan mendemonstrasikan keunggulan Sang Buddha dan doktrinNya. Sutta-sutta dalam Majjhima NikÄya terutama ditujukan ke dalam kepada komunitas Buddhis dan tampaknya dirancang untuk memperkenalkan para bhikkhu yang baru ditahbiskan dengan doktrin-doktrin dan praktik-praktik Hal ini tetap menjadi pertanyaan apakah tujuan-tujuan pragmatis ini merupakan kriteria penentu dibalik kedua NikÄya ini atau apakah kriteria utama adalah panjangnya, dengan tujuan-tujuan pragmatis ini mengikuti sebagai konsekuensi yang tidak disengaja dari perbedaan panjangnya itu. Saį¹yutta NikÄya disusun menurut topik. Masing-masing topik adalah āgandarā saį¹yoga yang menghubungkan khotbah-khotbah itu ke dalam saį¹yutta atau bab. Karena itulah maka judul koleksi itu dinamakan ākhotbah-khotbah yang berhubungan saį¹yutta.ā Buku pertama, buku syair-syair, adalah unik karena disusun berdasarkan pada jenis kesusasteraan. Buku ini terdiri dari sutta-sutta campuran prosa dan syair, disusun dalam sebelas bab sesuai topik. Keempat buku lainnya masing-masing terdiri dari bab-bab panjang yang membahas doktrin-doktrin prinsipil dari Buddhisme Awal. Buku II, III, dan IV masing-masing dimulai dengan bab panjang yang khusus membahas topik yang paling penting, berturut-turut adalah, kemunculan bergantungan bab 12 NidÄnasaį¹yutta; kelima kelompok unsur kehidupan bab 22 Khandhasaį¹yutta; dan enam landasan internal dan eksternal bab 35 Saįø·Äyatanasaį¹yutta. Bagian V membahas kelompok-kelompok prinsipil tentang faktor-faktor latihan yang, dalam periode pasca-kanonik, disebut sebagai tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan bodhipakkhiyÄ dhammÄ. Ini termasuk Jalan Mulia Berunsur Delapan bab 45 Maggasaį¹yutta, tujuh faktor pencerahan bab 46 Bojjhaį¹ gasaį¹yutta, dan empat penegakan perhatian bab 47 Satipaį¹į¹hÄnasaį¹yutta. Dari isinya, kita dapat menyimpulkan bahwa Saį¹yutta NikÄya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kedua kelompok monastik. Satu terdiri dari para ahli doktrin, para bhikkhu dan bhikkhunÄ« yang mengeksplorasi dalamnya implikasi Dhamma dan menjelaskannya kepada teman-temannya dalam kehidupan religius. Yang lainnya terdiri dari mereka yang menekuni pengembangan meditasi pandangan terang. Aį¹ guttara NikÄya disusun menurut skema penomoran yang diturunkan dari ciri khas metode pengajaran Sang Buddha. Untuk memudahkan pemahaman dan penghafalan, Sang Buddha sering kali memformulasikan khotbah-khotbahNya melalui kelompok bernomor, sebuah format yang membantu untuk memastikan bahwa ide-ide yang Beliau sampaikan dapat dengan mudah diingat. Aį¹ guttara NikÄya mengumpulkan khotbah-khotbah bernomor ke dalam suatu karya besar yang terdiri dari sebelas nipÄta atau bab, masing-masing mewakili jumlah poin yang membentuk kerangka sutta-sutta tersebut. Demikianlah ada Bab tentang Yang Satu ekakanipÄta, Bab tentang Yang Dua dukanipÄta, Bab tentang Yang Tiga TikanipÄta, dan seterusnya, hingga ditutup dengan Bab tentang Yang Sebelas ekÄdasanipÄta. Karena berbagai kelompok faktor sang jalan telah dijelaskan dalam Saį¹yutta, maka Aį¹ guttara dapat berfokus pada aspek-aspek latihan yang belum termasuk dalam kelompok-kelompok pengulangan. Aį¹ guttara memasukkan suatu proporsi sutta-sutta penting yang ditujukan kepada umat awam yang membahas tentang urusan etika dan spiritual dalam kehidupan di dunia, termasuk hubungan keluarga suami dan istri, anak-anak dan orang tua dan cara yang benar dalam mencari, menyimpan, dan menggunakan harta kekayaan. Sutta-sutta lainnya membahas latihan praktis para bhkkhu. Penyusunan bernomor dari koleksi ini sangat memudahkan dalam hal instruksi formal, dan dengan demikian dapat dengan mudah dirujuk oleh para bhikkhu ketika mengajar murid-murid mereka dan oleh para pengkhotbah ketika memberikan khotbah kepada umat awam. Di samping empat NikÄya utama, Sutta Piį¹aka PÄli juga memasukkan NikÄya ke lima, yang disebut Khuddaka NikÄya. Nama ini berarti Koleksi Minor. Mungkin awalnya terdiri dari hanya beberapa karya minor yang tidak dapat dimasukkan ke dalam empat NikÄya utama. Tetapi dengan semakin bertambahnya karya-karya selama berabad-abad dan ditambahkan ke dalamnya, maka ukurannya membengkak hingga menjadi bagian yang paling tebal di antara lima NikÄya. Akan tetapi, di jantung Khuddaka, terdapat suatu konstelasi kecil karya pendek yang disusun seluruhnya dalam bentuk syair yaitu, Dhammapada, TheragÄthÄ, dan TherÄ«gÄthÄ atau campuran prosa dan syair SuttanipÄta, UdÄna, dan Itivuttaka yang gaya dan isinya menyiratkan bahwa buku-buku ini berasal dari masa kuno. Teks lain dari Khuddaka NikÄya ā seperti Paį¹isambhidÄmagga dan dua Niddesa ā mewakili sudut pandang aliran TheravÄda dan dengan demikian pasti disusun pada masa Buddhisme Sektarian, ketika aliran-aliran awal telah mengambil jalan berbeda dari pengembangan ajaran mereka. Empat NikÄya dalam Kanon PÄli memiliki padanannya dalam Ägama dalam Tripiį¹aka China, walaupun berasal dari aliran awal yang berbeda. Bersesuaian dengan masing-masing secara berturut-turut adalah DirghÄgama, mungkin berasal dari aliran Dharmaguptaka, aslinya diterjemahkan dari Prakrit; MadhyamÄgama dan SamyuktÄgama, keduanya berasal dari aliran SarvÄtivÄda dan diterjemahkan dari Sanskrit; dan EkottarÄgama, bersesuaian dengan Aį¹ guttara NikÄya, umumnya dianggap berasal dari cabang aliran MahÄsaį¹ ghika dan telah diterjemahkan dari dialek Indo-Arya Tengah atau dialek campuran Prakrit dengan unsur Sanskrit. Tripiį¹aka China juga berisikan terjemahan sÅ«tra-sÅ«tra dari keempat koleksi, mungkin berasal dari aliran lain lagi yang tidak teridentifikasi, dan terjemahan buku-buku tersendiri dari Koleksi Minor, termasuk dua terjemahan Dhammapada salah satu yang dikatakan paling mirip dengan versi PÄli dan beberapa bagian SuttanipÄta, yang, sebagai sebuah karya yang berdiri sendiri, tidak terdapat dalam terjemahan Catatan Tentang Gaya Penulisan Para pembaca sutta-sutta PÄli sering kali terganggu oleh pengulangan-pengulangan teks. Adalah sulit untuk mengetahui bagian mana yang berasal dari Sang Buddha sendiri, yang sebagai seorang pembabar yang berpindah-pindah pasti menggunakan pengulangan untuk memperkuat poin-poin yang Beliau sampaikan, dan berapa banyak yang berasal dari para penyusun. Akan tetapi, jelas bahwa sebagian besar pengulangan berasal dari proses penyampaian lisan. Untuk menghindari pengulangan yang berlebihan dalam terjemahan ini saya banyak menggunakan penghilangan. Dalam hal ini saya mengikuti edisi cetak dari PÄli Text, yang sangat ringkas, tetapi suatu terjemahan yang ditujukan kepada pembaca masa kini memerlukan suatu pemampatan lebih jauh lagi jika ingin menghindari resiko kemarahan pembaca. Di pihak lain, saya telah dengan sangat teliti memeriksa bahwa tidak ada hal penting dalam teks aslinya, termasuk rasanya, menjadi hilang karena peringkasan ini. Idealisme pertimbangan pembaca dan ketaatan pada teks kadang-kadang berlawanan dengan tuntutan pada seorang penerjemah. Perlakuan pola pengulangan yang mana pengucapan yang sama dilakukan sehubungan dengan serangkaian poin adalah persoalan abadi dalam menerjemahkan sutta-sutta PÄli. Ketika menerjemahkan sebuah sutta tentang kelima kelompok unsur kehidupan, misalnya, seseorang tergoda untuk tidak lagi menguraikan kelompok-kelompok secara sendiri-sendiri dan sebaliknya mengubah sutta menjadi sebuah pernyataan umum tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai sekelompok. Bagi saya, pendekatan demikian beresiko mengubah penerjemahan menjadi penafsiran dan karenanya dapat kehilangan banyak makna aslinya. Kebijakan umum saya adalah menerjemahkan ucapan secara lengkap sehubungan dengan poin pertama dan terakhir dari kelompok itu dan hanya menguraikan poin-poin di antaranya yang dipisahkan dengan titik-titik penghilangan. Demikianlah, dalam sebuah sutta tentang lima kelompok unsur kehidupan, saya menerjemahkan pernyataan secara lengkap hanya untuk bentuk dan kesadaran, dan di antaranya terdapat āperasaan ⦠persepsi ⦠bentukan-bentukan kehendak ā¦,ā yang menyiratkan bahwa pernyataan lengkap berlaku pada titik-titik ini. Pendekatan ini menuntut keseringan penggunaan titik-titik penghilangan, suatu praktik yang juga mengundang kritik. Ketika menghadapi kalimat-kalimat berulang dalam kerangka narasi, saya kadang-kadang memampatkannya dan tidak menggunakan titik-titik penghilangan untuk menunjukkan di mana teks-teks tersebut dihilangkan. Akan tetapi, dengan teks-teks penjelasan doktrin saya taat pada praktik yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya. Saya pikir penerjemah memiliki tanggung jawab, ketika menerjemahkan doktrin penting, untuk menunjukkan secara persis di mana teks itu dihilangkan, dan karena titik-titik penghilangan masih menjadi alat terbaik yang kita miliki. I. Kondisi Dunia Pendahuluan Kondisi Dunia Seperti halnya ajaran religius lainnya, Ajaran Buddha berasal-mula sebagai respon atas tekanan pada inti kondisi manusia. Apa yang membedakan ajaran Beliau dengan pendekatan religius lainnya pada kondisi manusia adalah kelangsungan, kecermatan, dan realisme tanpa kompromi tekanan-tekanan yang dilihat oleh Beliau. Sang Buddha tidak memberikan kepada kita pereda sakit yang menyisakan penyakit sesungguhnya tetap tidak tersentuh di bawah permukaan; sebaliknya, Beliau menelusuri penyakit kita hingga penyebab yang paling mendasar, begitu gigih dan bersifat menghancurkan, dan menunjukkan kepada kita bagaimana hal-hal ini dapat dicabut sepenuhnya. Akan tetapi, walaupun Dhamma pada akhirnya akan mengarah menuju kebijaksanaan yang melenyapkan penyebab-penyebab penderitaan, namun hal ini tidak dimulai di sana melainkan dengan pengamatan mengenai fakta-fakta nyata pengalaman sehari-hari. Di sini juga realisme langsung, cermat, dan gigih terbukti. Ajaran ini dimulai dengan mengajak kita untuk mengembangkan kemampuan yang disebut yoniso manasikÄra, perhatian seksama. Sang Buddha mengajak kita untuk berhenti terhanyut tanpa pertimbangan sepanjang hidup, dan sebagai gantinya, memperhatikan dengan seksama pada kebenaran-kebenaran sederhana yang sehari-hari terjadi pada kita, menuntut perenungan berkesinambungan selayaknya. Salah satu yang paling nyata dan tidak dapat dihindarkan dari kebenaran-kebenaran ini adalah juga merupakan yang paling sulit bagi kita untuk diterima sepenuhnya, yaitu, bahwa kita pasti menjadi tua, jatuh sakit, dan mati. Secara umum diasumsikan bahwa Sang Buddha mengajak kita untuk mengenali realitas usia tua dan kematian untuk memotivasi kita agar memasuki jalan pelepasan keduniawian yang mengarah menuju NibbÄna, pembebasan sepenuhnya dari lingkaran kelahiran dan kematian. Akan tetapi, walaupun hal ini adalah tujuan tertinggi, namun bukan respon pertama yang Beliau berusaha bangkitkan ketika kita beralih kepadanya untuk mendapatkan tuntunan. Respon pertama yang hendak dibangkitkan Sang Buddha dalam diri kita adalah sesuatu yang etis. Dengan mengarahkan perhatian kita pada belenggu usia tua dan kematian, Beliau berusaha menginspirasi kita dengan suatu tekad yang kokoh untuk berbalik dari cara-cara tidak bermanfaat dalam kehidupan dan sebaliknya merangkul alternatif-alternatif yang bermanfaat. Sekali lagi, Sang Buddha mendasarkan seruan etis awalNya bukan hanya pada perasaan belas kasihan terhadap makhluk-makhluk lain, melainkan juga pada keprihatinan naluriah kita pada kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang kita sendiri. Beliau berusaha untuk membuat kita melihat bahwa dengan bertindak sesuai petunjuk-petunjuk etis akan memungkinkan kita untuk mengamankan kesejahteraan kita baik pada saat ini maupun jauh di masa depan. Argumen Beliau bergantung pada alasan penting bahwa perbuatan-perbuatan memiliki konsekuensi-konsekuensi. Jika kita harus mengubah kebiasaan-kebiasaan kita, maka kita harus yakin pada kebenaran dari prinsip ini. Khususnya, untuk berubah dari cara-cara kehidupan bodoh menjadi cara yang sungguh bermanfaat, kita harus menyadari bahwa perbuatan-perbuatan kita memiliki konsekuensi-konsekuensi bagi diri kita sendiri, konsekuensi-konsekuensi yang dapat berbalik kepada kita baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan-kehidupan berikutnya. Ketiga sutta yang menjadi bagian pertama dari bab ini menunjukkan hal ini dengan begitu tepat, masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri. Teks I,11 menjelaskan hukum yang tidak terhindarkan bahwa semua makhluk yang dilahirkan pasti mengalami penuaan dan kematian. Walaupun sepintas khotbah ini tampaknya sekadar mengatakan fakta alami, dengan menyebutkan contoh para anggota dari peringkat atas masyarakat para penguasa kaya, brahmana kaya, dan perumah tangga kaya dan para Arahant yang telah terbebaskan, namun secara tidak langsung menyiratkan suatu pesan moral yang halus dalam kata-katanya. Teks I,12 memaparkan pesan ini secara lebih nyata dengan perumpamaan gunung yang mengesankan, yang mengembalikan poin bahwa ketika āpenuaan dan kematian menghampiriā kita, tugas kita dalam hidup adalah menjalani hidup dengan benar dan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan bermanfaat. Sutta tentang āutusan surgawiā ā Teks I,13 ā memberikan makna yang wajar akan hal ini ketika kita gagal mengenali āpara utusan surgawiā di tengah-tengah kita, ketika kita melewatkan isyarat peringatan tersembunyi dari usia tua, penyakit, dan kematian, maka kita menjadi lalai dan berperilaku sembrono, menciptakan kamma tidak bermanfaat yang berpotensi menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang mengerikan. Kenyataan bahwa kita pasti menjadi tua dan mati mematahkan mantra ketergila-gilaan yang dijatuhkan kepada kita oleh kenikmatan indria, kekayaan, dan kekuasaan. Hal ini menghalau kabut kebingungan dan memotivasi kita untuk menetapkan tujuan hidup yang baru. Kita mungkin belum siap untuk meninggalkan keluarga dan harta untuk menjalani kehidupan mengembara tanpa rumah dan meditasi dalam kesunyian, tetapi hal ini bukanlah pilihan yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para siswa perumah tangga. Sebaliknya, seperti kita lihat di atas, pelajaran pertama Beliau tarik dari fakta bahwa kehidupan kita berakhir pada usia tua dan kematian adalah suatu hal yang etis yang saling terjalin dengan prinsip kembar kamma dan kelahiran kembali. Hukum kamma menetapkan bahwa perbuatan baik dan buruk memiliki konsekuensi jauh melampaui kehidupan saat ini perbuatan buruk mengarah pada kelahiran kembali dalam kondisi sengsara dan menghasilkan kesakitan dan penderitaan di masa depan; perbuatan baik mengarah pada kelahiran kembali yang menyenangkan dan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan di masa depan. Karena kita pasti menjadi tua dan mati, maka kita harus senantiasa menyadari bahwa segala kemakmuran saat ini yang dapat kita nikmati hanyalah sementara. Kita dapat menikmatinya selama kita muda dan sehat; dan ketika kita mati, kamma baru kita peroleh akan masak dan memberikan hasilnya. Kemudian kita harus memetik buah dari perbuatan-perbuatan kita. Dengan mempertimbangkan kesejahteraan jangka panjang, kita seharusnya dengan cermat menghindari perbuatan-perbuatan jahat yang berakibat pada penderitaan dan dengan tekun melakukan perbuatan-perbuatan baik yang menghasilkan kebahagiaan di sini maupun dalam kehidupan-kehidupan mendatang. Di bagian ke dua, kita menjelajahi tiga aspek kehidupan manusia yang saya kumpulkan dalam judul āKesengsaraan Kehidupan tanpa Perenungan.ā Jenis-jenis penderitaan ini berbeda dengan penderitaan yang berhubungan dengan usia tua dan kematian, dalam aspek yang penting. Usia tua dan kematian terikat pada kehidupan jasmani dan oleh karena itu tidak dapat dihindari, berlaku baik pada orang-orang biasa maupun pada para Arahant yang telah terbebaskan ā satu hal yang disebutkan dalam teks pertama bab ini. Sebaliknya, ketiga teks yang termasuk dalam bagian ini seluruhnya membedakan antara orang-orang biasa, yang disebut ākaum duniawi yang tidak terlatihā assutavÄ puthujjana, dan pengikut bijaksana Sang Buddha, yang disebut āsiswa mulia yang terlatihā sutavÄ ariyasÄvaka. Yang pertama dari perbedaan ini, disebutkan dalam Teks I,21, berkisar di sekitar respon pada perasaan menyakitkan. Baik kaum duniawi maupun siswa mulia mengalami perasaan menyakitkan jasmani, namun mereka memberikan respon yang berbeda atas perasaan-perasaan ini. Kaum duniawi memberikan reaksi penolakan dan oleh karena itu, di atas perasaan menyakitkan jasmani, juga mengalami perasaan menyakitkan batin dukacita, kekesalan, atau kesedihan. Siswa mulia, ketika mengalami kesakitan jasmani, menahankan perasaan itu dengan tabah, tanpa dukacita, kekesalan, atau kesedihan. Secara umum diasumsikan bahwa kesakitan jasmani dan batin adalah hubungan yang tidak terpisahkan, tetapi Sang Buddha memberikan batasan yang jelas antara keduanya. Beliau mengajarkan bahwa sementara keberadaan jasmani tidak terhindarkan, pasti mengalami kesakitan jasmani, namun kesakitan demikian tidak harus memicu reaksi emosional kesengsaraan, ketakutan, kekesalan, dan kesedihan yang biasanya menjadi reaksi normal kita. Melalui latihan batin kita dapat mengembangkan perhatian dan pemahaman jernih yang diperlukan untuk menahankan kesakitan jasmani dengan berani, dengan tabah dan seimbang. Melalui pandangan terang kita dapat mengembangkan kebijaksanaan yang cukup untuk mengatasi ketakutan kita pada perasaan sakit dan kebutuhan kita untuk mencari kenyamanan dalam pesta pemuasan indria sebagai pengalihan. Aspek lainnya dari kehidupan manusia yang membawa pada perbedaan penting antara kaum duniawi dan siswa mulia adalah perubahan takdir. Teks-teks Buddhis dengan rapi merangkum hal-hal ini ke dalam empat pasang yang saling berlawanan, yang dikenal sebagai delapan kondisi duniawi aį¹į¹ha lokadhammÄ untung dan rugi, kemasyhuran dan reputasi buruk, pujian dan celaan, kesenangan dan kesakitan. Teks I,22 menunjukkan bagaimana kaum duniawi dan siswa mulia berbeda dalam merespon perubahan-perubahan ini. Sementara kaum duniawi bergembira dengan keberhasilan dalam mencapai keuntungan, kemasyhuran, pujian, dan kesenangan, dan kecewa ketika dihadapkan pada lawannya yang tidak diharapkan, siswa mulia tetap tidak terganggu. Dengan menerapkan pemahaman ketidakkekalan pada kedua kondisi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, siswa mulia dapat berdiam dalam keseimbangan, tidak terikat pada kondisi menyenangkan, tidak menolak kondisi yang tidak menyenangkan. Seorang siswa demikian meninggalkan suka dan tidak suka, dukacita dan kesedihan, dan akhirnya memenangkan berkat tertinggi dari segalanya kebebasan sepenuhnya dari penderitaan. Teks I,23 memeriksa keadaan menyedihkan dari kaum duniawi pada tingkat yang lebih mendasar. Karena keliru dalam memahami sesuatu, kaum duniawi bergejolak oleh perubahan, khususnya ketika perubahan itu berdampak pada jasmani dan batin mereka. Sang Buddha mengelompokkan unsur-unsur jasmani dan batin ke dalam lima kategori yang dikenal sebagai ālima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatanā paƱcāupÄdÄnakkhandhÄ bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Kelima kelompok unsur kehidupan ini adalah balok penyusun yang umumnya kita gunakan untuk membangun identitas pribadi kita; unsur-unsur itu adalah hal-hal yang kita lekati sebagai āmilikku,ā āaku,ā dan ādiriku.ā Apapun yang kita identifikasikan, apapun yang kita anggap sebagai diri atau milik diri, semuanya dapat dikelompokkan ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan ini. Dengan demikian, kelima kelompok unsur kehidupan ini adalah landasan utama bagi āidentifikasiā dan āperuntukan,ā kedua aktivitas dasar yang karenanya kita membangun suatu keakuan. Karena kita menanamkan gagasan keakuan dan identitas personal dengan suatu perhatian emosional yang tinggi, ketika objek yang padanya keakuan itu terikat ā kelima kelompok unsur kehidupan ā mengalami perubahan, maka kita secara wajar mengalami kekhawatiran dan kesedihan. Dalam persepsi kita, hal ini bukanlah sekadar fenomena non-personal yang mengalami perubahan, melainkan adalah identitas kita, diri kita yang kita puja, dan hal ini adalah apa yang paling kita takuti. Akan tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh teks ini, seorang siswa mulia telah melihat dengan jelas dengan kebijaksanaan, sifat menipu dari semua gagasan diri yang kekal, dan dengan demikian tidak lagi mengidentifikasikan dengan kelima kelompok unsur kehidupan. Oleh karena itu siswa mulia dapat menghadapi perubahan mereka tanpa kecemasan, tidak gelisah akan perubahan, kerusakan, dan kehancurannya. Gejolak dan kekacauan menerpa kehidupan manusia bukan hanya pada tingkat personal dan pribadi, tetapi juga dalam interaksi sosial kita. Sejak zaman dulu, dunia kita selalu menjadi salah satu konfrontasi dan konflik kekerasan. Nama, tempat, dan alat penghancuran mungkin berubah, tetapi kekuatan di belakangnya, motivasinya, ekspresi keserakahan dan kebencian, tetap sama. NikÄya-nikÄya membuktikan bahwa Sang Buddha sangat memahami dimensi kondisi manusia ini. Walaupun ajaran Beliau, dengan penekanan pada disiplin-diri etis dan pengolahan batin, bertujuan terutama pada pencerahan dan pembebasan personal, namun Sang Buddha juga menawarkan kepada orang-orang suatu perlindungan dari kekerasan dan ketidakadilan yang menyakiti kehidupan manusia dengan cara-cara yang kejam. Hal ini jelas dalam penekanan Beliau pada cinta-kasih dan belas-kasihan; pada ketidakkejaman dalam perbuatan dan kehalusan dalam ucapan; dan penyelesaian perselisihan dengan damai. Bagian ke tiga dari bab ini memasukkan empat teks pendek yang membahas akar-akar yang mendasari konflik dan ketidakadilan. Kita dapat melihat dari teks-teks ini bahwa Sang Buddha tidak menuntut perubahan sekadar dalam struktur luar masyarakat. Beliau memperlihatkan bahwa fenomena-fenomena gelap ini adalah proyeksi eksternal dari kecenderungan tidak baik batin manusia dan dengan demikian menunjukkan perlunya perubahan batin sebagai kondisi paralel untuk menciptakan kedamaian dan keadilan sosial. Masing-masing dari empat teks yang termasuk dalam bagian ini menelusuri konflik, kekerasan, tekanan politik, dan ketidakadilan ekonomi ke belakang hingga pada penyebab-penyebabnya; masing-masing dalam caranya melacak lokasinya dalam batin. Teks I,31 menjelaskan konflik antara orang-orang awam yang muncul dari kemelekatan pada kenikmatan indria, konflik antara petapa yang muncul dari kemelekatan pada pandangan-pandangan. Teks I,32 sebuah dialog antara Sang Buddha dan Sakka, penguasa para deva pada masa pre-Buddhis di India, melacak kebencian dan permusuhan pada iri-hati dan kekikiran; dari sana Sang Buddha menelusurinya kembali pada penyimpangan mendasar yang berdampak pada cara persepsi dan kognisi kita memproses informasi yang diberikan oleh indria-indria. Teks I,33 memberikan versi lain dari rantai sebab-akibat yang terkenal, yang berputar dari perasaan menuju ketagihan, dan dari ketagihan melalui kondisi lainnya menuju āpengambilan tongkat pemukul dan senjataā dan jenis-jenis perilaku kekerasan lainnya. Teks I,34 menggambarkan bagaimana ketiga akar kejahatan ā keserakahan, kebencian, dan delusi ā memiliki dampak mengerikan pada keseluruhan masyarakat, berakibat pada kekerasan, nafsu pada kekuasaan, dan hukuman menyakitkan yang tidak adil. Seluruh empat teks ini menyiratkan bahwa transformasi apapun yang signifikan dan bertahan lama dalam masyarakat memerlukan perubahan signifikan dalam serat moral dari masing-masing individu; karena selama keserakahan, kebencian, dan delusi merajalela menjadi penentu pada perilaku, konsekuensi-konsekuensinya adalah pasti buruk. Ajaran Sang Buddha menyebutkan aspek ke empat dari kondisi manusia yang, tidak seperti tiga yang telah kita bahas, tidak seketika terlihat oleh kita. Ini adalah belenggu kita pada lingkaran kelahiran kembali. Dari teks-teks pilihan yang termasuk dalam bagian terakhir bab ini, kita melihat bahwa Sang Buddha mengajarkan bahwa umur kehidupan kita adalah hanya satu tahap dalam rangkaian kelahiran kembali yang telah berlangsung sejak awal yang tidak dapat diketahui. Rangkaian kelahiran kembali ini disebut saį¹sÄra, kata PÄli yang menyiratkan gagasan pengembaraan tanpa arah. Tidak peduli berapa jauh ke belakang kita mencari awal dari alam semesta, kita tidak akan pernah menemukan saat awal penciptaan. Tidak peduli berapa jauh ke belakang kita melacak urutan kehidupan seseorang, kita tidak akan pernah sampai pada titik awal. Menurut Teks I,41 dan I,42, bahkan jika kita melacak urutan ibu dan ayah kita di seluruh sistem dunia, kita hanya akan sampai pada lebih banyak ibu dan ayah merentang hingga cakrawala yang jauh. Terlebih lagi, proses itu bukan hanya tanpa awal tetapi juga kemungkinan besar tanpa akhir. Selama ketidak-tahuan dan ketagihan masih tetap ada, proses itu akan berlanjut tak terhingga ke masa depan tanpa titik akhir yang terjangkau. Bagi Sang Buddha dan Buddhisme awal, hal ini menegaskan krisis dalam inti dari kondisi manusia; kita terikat pada rantai kelahiran kembali, dan terikat padanya bukan lain oleh ketidak-tahuan dan ketagihan kita sendiri. Pengembaraan tanpa tujuan dalam saį¹sÄra muncul pada latar belakang kosmis dari dimensi yang tidak terbayangkan luasnya. Rentang waktu bagi suatu sistem dunia untuk berkembang, mencapai fase maksimum pengembangan, penyusutan, dan kemudian hancur disebut satu kappa Skt kalpa. Teks I,43 memberikan perumpamaan yang jelas untuk menggambarkan rentang waktu satu kappa; Teks I,44 suatu perumpamaan jelas lainnya untuk menggambarkan jumlah kappa yang tidak terhitung yang telah kita lalui dalam pengembaraan kita. Selama makhluk-makhluk mengembara dan berkelana dari satu kehidupan ke kehidupan lain, terselimuti oleh kegelapan, mereka terjatuh lagi dan lagi ke dalam jurang kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian. Tetapi karena ketagihan mendorong mereka maju dalam pencarian tanpa ampun demi kepuasan, mereka jarang berhenti cukup lama untuk melangkah mundur dan memperhatikan kesengsaraan kehidupan mereka. Seperti yang dinyatakan dalam Teks I,45, sebaliknya mereka hanya terus-menerus berputar di sekitar ālima kelompok unsur kehidupanā seperti halnya seekor anjing yang terikat akan berlari mengelilingi tiang atau pilar. Karena ketidak-tahuan mereka mencegah mereka mengenali sifat kejam dari kondisi mereka, mereka tidak mampu melihat bahkan jejak jalan menuju pembebasan. Kebanyakan makhluk hidup tenggelam dalam kenikmatan indria. Yang lainnya, didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan, status, dan penghargaan, melewatkan kehidupan mereka dengan sia-sia berusaha memuaskan dahaga yang tidak terpuaskan. Banyak di antara mereka, karena takut akan kemusnahan pada saat kematian, membangun sistem kepercayaan yang kembali pada diri individual mereka, jiwa mereka, prospek hidup abadi. Sedikit di antara mereka yang menginginkan jalan kebebasan, tetapi tidak mengetahui di mana menemukannya. Demi untuk memberikan jalan inilah maka Sang Buddha telah muncul di tengah-tengah kita. 1. Usia Tua, Penyakit, dan Kematian 1 Penuaan dan Kematian SN JarÄmaraį¹a Sutta 2 Perumpamaan Gunung SN PabbatÅ«pama_Sutta 3 Utusan Surgawi AN DevadÅ«ta Sutta 2. Kesengsaraan Hidup Tanpa Perenungan 1 Anak Panah Perasaan Menyakitkan SN Salla Sutta 2 Perubahan dalam Kehidupan AN Dutiyalokadhamma Sutta 3 Kekhawatiran Karena Perubahan SN UpÄdÄparitassanÄ Sutta 3. Dunia Dalam Kekacauan 1 Asal-mula Konflik AN 2 Mengapakah Makhluk-makhluk Hidup dalam Kebencian? DN SakkapaƱha Sutta 3 Mata Rantai Gelap dari Sebab-Akibat DN 15 MahÄnidÄna_Sutta 9 4 Akar Kekerasan dan Penindasan AN MÅ«la Sutta 4. Tanpa Awal Yang Dapat Ditemukan 1 Rumput dan Ranting SN Tiį¹akaį¹į¹ha_Sutta 2 Bola-bola Tanah SN PathavÄ« Sutta 3 Gunung SN Pabbata Sutta 4 Sungai Gangga SN Gaį¹ gÄ Sutta 5 Anjing Yang Terikat SN Gaddulabaddha Sutta II. Pembawa Cahaya Pendahuluan Pembawa Cahaya Gambaran kondisi manusia yang terdapat dalam NikÄya-nikÄya, seperti yang tertera di bab sebelumnya, adalah latar belakang yang darinya manifestasi Sang Buddha di dunia ini mendapatkan signifikansi tinggi dan dalam. Jika kita tidak memandang Sang Buddha pada latar belakang multi-dimensi ini, yang menjangkau dari yang paling personal dan dorongan individual pada saat ini hingga yang luas, irama waktu kosmis yang bukan-personal, maka segala interpretasi yang akan kita peroleh sehubungan dengan peranNya pasti tidak lengkap. Bukannya menangkap sudut pandang para penyusun NikÄya, interpretasi kita malah akan banyak dipengaruhi oleh asumsi kita seperti halnya oleh mereka, bahkan mungkin lebih. Bergantung pada prasangka dan kecenderungan kita, kita mungkin memilih untuk menganggap Sang Buddha sebagai seorang tokoh pembaruan liberal etis dari paham Brahmanisme yang merosot, sebagai seorang tokoh besar kemanusiaan sekuler, sebagai seorang empiris radikal, sebagai seorang psikolog kehidupan, sebagai pendukung agnostik, atau sebagai pelopor aliran intelektual yang sesuai dengan khayalan kita. Sang Buddha yang menatap balik kepada kita melalui teks-teks akan sangat merefleksikan diri kita sendiri, terlalu kecil untuk suatu gambaran Yang Tercerahkan. Mungkin dalam menerjemahkan literatur religius kuno, kita tidak akan pernah sepenuhnya menghindari penyisipan diri kita dan nilai-nilai kita sendiri ke dalam topik yang sedang kita terjemahkan. Akan tetapi, walaupun kita tidak akan pernah mencapai transparansi sempurna, namun kita dapat membatasi dampak penyimpangan personal pada proses penerjemahan dengan memberikan penghormatan pada kata-kata dalam teks. Ketika kita memberikan penghormatan kepada NikÄya-nikÄya, ketika kita menganggap serius kisah-kisah latar belakang itu pada manifestasi Sang Buddha di dunia ini, maka kita akan melihat bahwa NikÄya-nikÄya itu berasal dari misi Beliau yang tidak kurang dari cakupan kosmis. Terhadap latar belakang alam semesta yang tanpa batasan waktu yang dapat dibayangkan, suatu alam semesta yang di dalamnya makhluk-makhluk hidup yang terselimuti dalam kegelapan ketidak-tahuan mengembara dengan terikat pada penderitaan usia tua, penyakit, dan kematian, Sang Buddha hadir sebagai āpembawa obor bagi manusiaā ukkÄdhÄro manussÄnaį¹ membawa cahaya Dalam kata-kata dari Teks II,1, kemunculanNya di dunia adalah āmanifestasi penglihatan agung, cahaya agung, sinar agung.ā Setelah menemukan untuk diriNya sendiri kedamaian kebebasan yang sempurna, Beliau menyalakan cahaya pengetahuan, yang mengungkapkan baik kebenaran-kebenaran yang harus kita lihat untuk diri kita sendiri maupun jalan praktik yang memuncak dalam penglihatan yang membebaskan ini. Menurut tradisi Buddhis, Sang Buddha Gotama bukan hanya satu individu unik yang membawa kemunculan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke atas panggung sejarah manusia dan kemudian pensiun untuk selamanya. Melainkan, Beliau adalah pemenuhan suatu model primordial, anggota terbaru dari ādinastiā para Buddha kosmis yang terdiri dari tidak terhingga banyaknya para Yang Tercerahkan Sempurna di masa lampau dan dilestarikan oleh para Yang Tercerahkan Sempurna yang melanjutkan dengan tanpa batas ke masa depan. Buddhisme awal, bahkan di dalam sumber teks-teks kuno dari NikÄya-nikÄya, telah mengenali pluralitas para Buddha yang semuanya selaras pada pola prilaku tertentu yang pasti, secara garis besar digambarkan dalam bagian pembukaan dari MahÄpadÄna Sutta Digha NikÄya 14, yang tidak dicantumkan dalam buku ini. Kata āTathÄgata,ā yang digunakan dalam teks sebagai sebuah gelar bagi seorang Buddha, merujuk pada pemenuhan model primordial ini. Kata ini bermakna baik sebagai āSeorang yang telah datang demikianā tathÄ Ägata, yaitu, yang telah datang ke tengah-tengah kita dengan cara yang sama dengan para Buddha masa lampau telah datang; maupun sebagai āSeorang yang telah pergi demikianā tathÄ gata, yaitu, yang telah pergi menuju kedamaian tertinggi, NibbÄna, dengan cara yang sama dengan para Buddha masa lampau telah pergi. Walaupun NikÄya-nikÄya menetapkan bahwa dalam sistem dunia mana pun, pada masa kapan pun, hanya muncul satu Buddha Yang Tercerahkan Sempurna, kemunculan para Buddha merupakan bagian alami dari proses kosmik. Bagaikan sebuah meteor dalam kegelapan langit malam, dari waktu ke waktu seorang Buddha akan muncul dalam latar belakang ruang dan waktu yang tanpa batas, menerangi cakrawala spiritual di dunia, memancarkan kecemerlangan kebijaksanaanNya pada mereka yang mampu melihat kebenaran-kebenaran yang beliau terangi. Makhluk yang kelak menjadi seorang Buddha disebut, dalam PÄli, seorang bodhisatta, sebuah kata yang lebih dikenal dalam bentuk Sanskrit, bodhisattva. Menurut tradisi Buddhis pada umumnya, seorang bodhisatta adalah seorang yang menjalani perjalanan panjang pengembangan spiritual dengan sadar termotivasi oleh cita-cita untuk mencapai Kebuddhaan di masa Terinspirasi dan ditopang oleh belas kasih agung terhadap makhluk-makhluk hidup yang terperosok ke dalam penderitaan kelahiran dan kematian, seorang Bodhisatta memenuhi, selama banyak kappa kosmis, perjalanan sulit yang diperlukan untuk sepenuhnya menguasai prasyarat untuk mencapai penerangan sempurna. Ketika semua prasyarat ini lengkap terpenuhi, Beliau mencapai Kebuddhaan untuk menegakkan Dhamma di dunia. Seorang Buddha menemukan jalan menuju kebebasan yang telah lama hilang, ājalan tuaā yang dilalui oleh para Buddha masa lampau yang memuncak dalam kebebasan NibbÄna yang tanpa batas. Setelah menemukan jalan itu dan melaluinya hingga titik akhir, kemudian Beliau mengajarkannya sepenuhnya kepada manusia sehingga banyak orang lain dapat memasuki jalan itu menuju kebebasan akhir. Akan tetapi, hal ini tidak memadamkan fungsi seorang Buddha. Seorang Buddha memahami dan mengajarkan bukan hanya jalan menuju kebebasan tertinggi, kebahagiaan sempurna NibbÄna, tetapi juga jalan-jalan yang mengarah menuju berbagai jenis kebahagiaan duniawi yang bermanfaat yang juga diinginkan manusia. Seorang Buddha menyatakan baik jalan peningkatan duniawi yang memungkinkan makhluk-makhluk hidup menanamkan akar bermanfaat yang produktif pada kebahagiaan, kedamaian, dan keamanan dalam dimensi duniawi dari kehidupan mereka, dan jalan yang melampaui keduniawian untuk menuntun makhluk-makhluk menuju NibbÄna. Dengan demikian PeranNya adalah lebih luas daripada suatu fokus eksklusif pada aspek transenden seperti yang disiratkan oleh ajaranNya. Beliau bukan hanya seorang mentor para petapa, bukan hanya seorang guru teknik meditasi dan pandangan terang filosofis, melainkan seorang penuntun Dhamma dalam jangkauan sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya; seorang yang mengungkapkan, menyatakan, dan menegakkan semua prinsip-prinsip integral untuk mengoreksi pemahaman dan perilaku bermanfaat, apakah duniawi atau pun transendental. Teks II,1 menggaris-bawahi dimensi altruistik yang luas dari karir seorang Buddha ketika teks ini memuji Sang Buddha sebagai satu orang yang muncul di dunia ādemi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.ā NikÄya-nikÄya memberikan dua perspektif sehubungan dengan Sang Buddha sebagai sesosok pribadi, dan untuk menilai teks ini adalah penting untuk menerima kedua perspektif ini dengan seimbang, tanpa membiarkan yang satu meniadakan yang lain. Suatu pandangan yang benar atas Sang Buddha hanya dapat dimunculkan dari penggabungan kedua perspektif ini, seperti halnya penglihatan benar atas suatu objek hanya dapat dimunculkan ketika perspektif yang ditampilkan oleh kedua mata bergabung di dalam otak menjadi satu gambaran tunggal. Salah satu perspektif, yang paling sering digaris-bawahi dalam penyajian Buddhisme modern, menunjukkan Sang Buddha sebagai seorang manusia yang, seperti juga manusia lainnya, harus berjuang dengan kelemahan-kelemahan umum dari sifat manusia untuk sampai pada kondisi Yang Tercerahkan. Setelah pencerahanNya pada usia tiga puluh lima, Beliau berjalan di antara kita selama empat puluh lima tahun sebagai seorang guru manusia yang bijaksana dan penuh belas kasih, berbagi pencapaianNya dengan orang lain dan memastikan bahwa ajaranNya akan bertahan lama di dunia setelah Beliau meninggal dunia. Ini adalah sisi alamiah Sang Buddha yang digambarkan paling menonjol dalam NikÄya-nikÄya. Karena sangat bersesuaian dengan sikap agnostik kontemporer terhadap keyakinan religius ideal, hal ini memiliki sisi menarik bagi mereka yang menganut cara-cara pemikiran modern. Aspek lain dari sosok Sang Buddha tampak agak aneh bagi kita, tetapi diyakini luas dalam tradisi Buddhis dan bertindak sebagai landasan bagi pemujaan Buddhis populer. Walaupun sekunder dalam NikÄya-nikÄya, namun kadang-kadang muncul secara begitu menyolok sehingga tidak dapat diabaikan, terlepas dari usaha-usaha para praktisi Buddhis modern untuk mengurangi nilainya atau merasionalisasi penyusupannya. Dari perspektif ini, Sang Buddha terlihat sebagai seorang yang telah melakukan persiapan bagi pencapaian tertinggi selama banyak kehidupan lampau yang tak terhingga dan ditakdirkan sejak lahir untuk memenuhi misiNya sebagai seorang guru dunia. Teks II,2 adalah sebuah contoh bagaimana Sang Buddha dilihat dari perspektif ini. Di sini, dikatakan, Sang Calon Buddha turun dengan penuh kesadaran dari alam surga Tusita ke dalam rahim ibunya; konsepsi dan kelahirannya disertai dengan keajaiban; para dewa menyembah bayi yang baru lahir; dan segera setelah Beliau dilahirkan, Beliau berjalan tujuh langkah dan menyerukan takdir masa depanNya. Jelas, bagi para penyusun sutta seperti ini, Sang Buddha telah ditakdirkan untuk mencapai Kebuddhaan bahkan sebelum konsepsiNya dan dengan demikian perjuangannya untuk mencapai pencerahan adalah sebuah pertempuran yang hasilnya telah ditentukan sebelumnya. Akan tetapi, paragraf terakhir dari sutta ini, secara ironis mendengar kembali gambaran realistis dari Sang Buddha. Apa yang dianggap oleh Sang Buddha sendiri sebagai sesuatu yang menakjubkan yang bukan merupakan keajaiban yang menyertai konsepsi dan kelahiranNya, tetapi perhatianNya dan pemahaman jernih di tengah-tengah perasaan, pikiran, dan persepsi. Tiga teks dalam bagian 3 adalah kisah biografi yang konsisten dengan sudut pandang naturalis. Teks-teks ini memberikan kepada kita suatu potret Sang Buddha yang sebenarnya dalam kenyataannya, secara murni naturalis, menyentuh dalam kemampuannya untuk menyampaikan pandangan terang psikologis mendalam dengan teknik penggambaran minimal. Dalam Teks II, 31 kita membaca tentang pelepasan keduniawianNya, latihanNya di bawah dua guru meditasi terkenal, kekecewaanNya pada ajaran-ajaran mereka, perjuanganNya sendirian, dan kemenanganNya dalam mencapai Keabadian. Teks II, 32 mengisi celah narasi di atas dengan kisah terperinci praktik Sang Bodhisatta dalam menyiksa diri, yang anehnya tidak terdapat pada khotbah sebelumnya. Teks ini juga memberikan kita penggambaran klasik dari pengalaman pencerahan seperti pencapaian empat jhÄna, kondisi-kondisi meditasi mendalam, diikuti dengan ketiga vijjÄ atau jenis-jenis pengetahuan yang lebih tinggi pengetahuan mengingat kehidupan lampau, pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, dan pengetahuan hancurnya noda-noda. Sementara teks ini menyampaikan kesan bahwa pengetahuan terakhir muncul dalam pikiran Sang Buddha secara tiba-tiba dan intuisi spontan, Teks II,33 mengoreksi kesan ini dengan sebuah kisah Sang Bodhisatta pada malam menjelang pencerahannya merenungkan secara mendalam pada penderitaan usia tua dan kematian. Kemudian Beliau secara metodis menelusuri penderitaan ini kembali kepada kondisinya melalui sebuah proses yang terlibat, pada setiap tahap, āperhatian seksamaā yoniso manasikÄra menuntun menuju āsuatu penembusan melalui kebijaksanaanā paƱƱÄya abhisamaya. Proses penyelidikan ini memuncak dalam penemuan kemunculan bergantungan, yang mana menjadi batu landasan filosofis dari ajaranNya. Adalah penting untuk menekankan bahwa, seperti disajikan di sini dan di tempat lain dalam NikÄya-nikÄya baca di bawah, kemunculan bergantungan tidak menyiratkan suatu perayaan kegembiraan dari segala sesuatu yang saling berkaitan melainkan suatu pengucapan tepat dari pola kondisionalitas dalam ketergantungan yang padanya penderitaan muncul dan lenyap. Dalam teks yang sama, Sang Buddha menyatakan bahwa Beliau menemukan jalan pencerahan hanya ketika Beliau menemukan jalan untuk mengakhiri kemunculan bergantungan. Demikianlah pencapaian lenyapnya kemunculan bergantungan, dan bukan sekadar penemuan aspek asal-mulanya, yang mempercepat pencerahan Sang Buddha. Perumpamaan kota tua, yang diperkenalkan kemudian dalam khotbah, mengilustrasikan poin bahwa pencerahan Sang Buddha bukanlah suatu peristiwa unik melainkan penemuan kembali ājalan tuaā yang sama yang telah diikuti oleh para Buddha di masa lampau. Teks II,4 melanjutkan narasi dari Teks II,31, yang telah saya bagi dengan menggabungkan kedua versi alternatif dari pencarian Sang Buddha atas jalan pencerahan. Sekarang kita bergabung dengan Sang Buddha segera setelah pencerahanNya ketika Beliau merenungkan pertanyaan berat apakah akan berbagi pencapaianNya dengan dunia. Pada titik ini, di tengah-tengah suatu teks yang telah sangat luas muncul dengan begitu meyakinkan, sesosok dewa bernama BrahmÄ Sahampati turun dari alam surga untuk memohon agar Sang Buddha mengembara dan mengajarkan Dhamma demi manfaat dari mereka yang memiliki āsedikit debu di mata mereka.ā Apakah adegan ini diinterpretasikan secara literal atau sebagai sebuah simbol undangan dari sebuah drama internal yang terjadi dalam pikiran Sang Buddha? Sulit untuk memberikan jawaban pasti atas pertanyaan ini; mungkin adegan ini bisa dipahami sebagai terjadi pada kedua tahap sekaligus. Bagaimana pun juga, kemunculan BrahmÄ pada titik ini menandai suatu pergeseran dari realisme yang mewarnai bagian awal dari sutta ini ke belakang pada modus simbolis-mistis. Transisi ini sekali lagi menegaskan signifikansi kosmis dari pencerahan Sang Buddha dan misi masa depanNya sebagai seorang guru. Permohonan BrahmÄ akhirnya menang dan Sang Buddha setuju untuk mengajar. Sebagai penerima pertama ajaranNya Beliau memilih kelima petapa yang telah melayaniNya selama tahun-tahun praktik petapaanNya. Narasi ini memuncak dalam sebuah pernyataan singkat bahwa Sang Buddha memberikan instruksi kepada mereka dalam suatu cara sehingga mereka semua mencapai Keabadian NibbÄna untuk diri mereka sendiri. Akan tetapi, tidak ada indikasi sehubungan dengan ajaran khusus apa yang ditanamkan Beliau kepada mereka ketika Beliau pertama bertemu dengan mereka setelah pencerahanNya. Ajaran itu adalah Khotbah Pertama itu sendiri, yang dikenal sebagai āPemutaran Roda Dhamma.ā Sutta ini termasuk di sini sebagai Teks II,5. Ketika sutta dimulai, Sang Buddha menyatakan kepada kelima petapa bahwa Beliau telah menemukan ājalan tengah,ā yang Beliau identifikasi dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di bawah cahaya kisah biografi sebelumnya, kita dapat memahami mengapa Sang Buddha memulai khotbah ini dengan cara ini. Kelima petapa pada awalnya menolak menerima pengakuan pencerahan Sang buddha dan menolakNya sebagai seorang yang telah mengkhianati panggilan dan kembali kepada kehidupan mewah. Demikianlah Beliau pertama-tama harus meyakinkan mereka bahwa, bukannya kembali ke kehidupan kenikmatan-diri, Beliau malah telah menemukan pendekatan baru menuju pencarian tanpa akhir demi pencerahan. Pendekatan baru ini, Beliau memberitahu mereka, tetap setia pada pelepasan kenikmatan indria namun menghindari penyiksaan diri sebagai tidak bermanfaat dan tidak produktif. Kemudian Beliau menjelaskan kepada mereka jalan benar menuju kebebasan, Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang menghindari kedua ekstrim dan dengan demikian membangkitkan cahaya kebijaksanaan dan memuncak dalam hancurnya semua belenggu, NibbÄna. Begitu Beliau telah menjernihkan kesalah-pahaman mereka, Sang Buddha kemudian menyatakan kebenaran-kebenaran yang Beliau tembus pada malam pencerahanNya. Ini adalah Empat Kebenaran Mulia. Beliau tidak hanya mengucapkan masing-masing kebenaran itu dan secara ringkas mendefinisikan maknanya, melainkan Beliau menjelaskan masing-masing kebenaran dalam tiga perspektif. Hal ini merupakan tiga āpemutaran roda Dhammaā yang dirujuk belakangan dalam khotbah ini. Sehubungan dengan masing-masing kebenaran, pemutaran pertama adalah kebijaksanaan yang menerangi ciri tertentu dari kebenaran mulia itu. Pemutaran ke dua adalah pemahaman bahwa masing-masing kebenaran mulia itu menuntut tugas tertentu untuk diselesaikan. Demikianlah kebenaran mulia pertama, kebenaran penderitaan, harus dipahami sepenuhnya; kebenaran ke dua, kebenaran asal-mula penderitaan atau ketagihan, harus ditinggalkan; kebenaran ke tiga, kebenaran lenyapnya penderitaan, harus dicapai; dan kebenaran ke empat, kebenaran sang jalan, harus dikembangkan. Pemutaran ke tiga adalah pemahaman bahwa keempat fungsi sehubungan dengan Keempat Kebenaran Mulia telah diselesaikan kebenaran penderitaan telah dipahami sepenuhnya; ketagihan telah ditinggalkan; lenyapnya penderitaan telah dicapai; dan Sang Jalan telah dikembangkan sepenuhnya. Beliau mengatakan, hanya ketika Beliau telah memahami Keempat Kebenaran Mulia dalam ketiga pemutaran ini dan dua belas cara, maka Beliau dapat mengaku bahwa Beliau telah mencapai penerangan sempurna yang tidak terlampaui. Dhammacakkappavattana Sutta sekali lagi mengilustrasikan perpaduan kedua gaya bahasa yang saya sebutkan sebelumnya. Khotbah ini berjalan hampir seluruhnya dalam cara realistis-naturalistis hingga kita mendekati akhir. Ketika Sang Buddha mengakhiri khotbahNya, signifikansi kosmis dari peristiwa ini dijelaskan oleh paragraf yang menunjukkan bagaimana para dewa dari tiap-tiap alam surga berturut-turut bersorak atas khotbah itu dan menyerukan berita baik itu ke atas pada para deva di alam yang lebih tinggi berikutnya. Pada waktu yang sama, keseluruhan sistem dunia bergoyang dan berguncang, dan cahaya gilang-gemilang melampaui cahaya para deva muncul di dunia. Kemudian, pada bagian akhir, kita kembali dari adegan agung ini kepada alam manusia yang normal, untuk melihat Sang Buddha secara singkat memuji Petapa Koį¹įøaƱƱa karena memperoleh āpenglihatan Dhamma yang tanpa noda dan bebas dari debu.ā Dalam sepersekian detik, Pelita Ajaran telah disampaikan dari Guru kepada siswaNya, untuk memulai perjalanan di seluruh penjuru India dan seluruh Dunia. 1. Satu Orang AN 2. Konsepsi dan Kelahiran Sang Buddha MN 123 AcchariyaabbhÅ«ta Sutta 3. Pencarian Pencerahan 1 Mencari Kondisi Kedamaian Luhur Tertinggi MN 26 Ariyapariyesana Sutta; I 160-67; Paragraf 5-18 2 Pencapaian Tiga Pengetahuan Sejati MN 36 MahÄsaccaka Sutta; I 240-49 3 Kota Tua SN 1265; II 104-7 4. Keputusan Untuk Mengajar MN 26 Ariyapariyesana Sutta; I 167-73 5. Khotbah Pertama III. Men
MemahamiLaporan Keuangan Perusahaan: Definisi, Jenis, dan Analisis. Dalam bisnis, Anda tentu sudah paham bahwa sistem akuntansi sangat penting, baik itu untuk perusahaan kecil, menengah, maupun besar sekalipun. Akan tetapi, sistem akuntansi tidak hanya sebatas pembukuan. Sebab, sistem akuntansi dalam sebuah entitas bisnis akan menghasilkan
.